Biografi Affandi Koesoema, Maestro Lukis Indonesia yang Mendunia

Mengisahkan perjalanan hidup seorang maestro lukis Indonesia yang mendunia. Biografi Affandi Koesoema yang kita hadirkan secara lengkap dari kelahiran sampai membahas seputar karya-karya Affandi.


Affandi Koesoema dikenal sebagai seorang maestro seni lukis Indonesia yang mendunia. Berbagai pameran lukis telah ia lalui di dalam negeri maupun mancanegara. Berbagai penghargaan juga ia sambar dari banyak negara di dunia.

Ia dikenal sebagai seorang pelukis dengan menganut aliran ekspresionis dan abstrak. Seringkali karya-karya lukisnya sulit untuk dimengerti oleh orang lain, terlebih oleh orang awam tentang seni lukis. Namun bagi pecinta seni lukis, keabstrakan lukisan Affandi justru menjadi daya pikat tersendiri.

Lalu, bagaimana kisah-kisah kehidupan seorang Affandi Koesoema? Bagaimana latar belakangnya? Di mana ia belajar? Bagaimana cara ia melukis? Maka mari kita simak ulasan biografi Affandi Koesoema yang secara lengkap kita rangkum dari berbagai sumber terpercaya.

Profil Affandi Koesoema

Nama
Affandi Koesoema

Tempat Lahir
Cirebon, Jawa Barat, Hindia Belanda

Tahun Lahir
1907

Tahun Wafat
1990

Nama Ayah
Raden Koesoema

Nama Istri
Maryati, Rubiyem

Anak
Kartika Affandi, Juki Affandi


Baca juga: Biografi Sujiwo Tejo – Seniman Edan Presiden Jancukers


Lebih Dekat dengan Affandi Koesoema

affandi koesoema
kiranaprashidda.com

Affandi Koesoema dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907. Ayahnya, Raden Koesoema, adalah seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Ia menerima pendidikan dari dasar hingga setingkat SMU di sekolah yang disediakan pemerintah Hindia Belanda untuk kaum pribumi.

Dari pendidikan dasar di HIS, kemudian lanjut sekolah menengah MULO, dan mengakhiri masa pendidikannya di AMS yang setingkat SMU. Di bawah kekuasaan Belanda memang sulit bagi orang pribumi untuk bisa mendapatkan pendidikan tinggi.

Dari semasa kecil Affandi sudah gemar menggambar. Ia juga mulai memperlihatkan bakat seninya semenjak duduk di sekolah dasar. Namun ia baru benar-benar terjun di dunia seni pada sekitar tahun 1940-an karena memang sulit untuk mendapatkan pekerjaan seni di masa kolonial.

Affandi mengawali kariernya dengan mejadi seorang guru dan juru sobek karcis. Karena lebih tertarik dengan bidang seni lukis, ia juga pernah bekerja sebagai tukang gambar reklame bioskop di salah satu bioskop di Bandung. Namun pekerjaan tersebut tidak lama ia geluti.

Affandi bukan merupakan tipikal orang yang hobi membaca. Ia lebih senang mempelajari berbagai hal dengan cara langsung mempraktekkannya. Hal ini dapat dilihat dari keaktifannya dalam kegiatan berbagai organisasi.

Aktivitas Affandi Koesoema

Pada tahun 1930, Affandi bergabung dengan kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung, yang memiliki andil besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Lima pelukis itu Barli Sasmitawinata, Hendra Gunawan, Sudarso, Wahdi, dan Affandi sebagai pimpinan kelompok tersebut.

Berbeda dengan kelompok seni rupa lainnya, Lima Bandung lebih fokus dalam kegiatan belajar bersama dan menjalin kerja sama antar sesama pelukis. Kegiatan tersebut sangat cocok dengan Affandi yang kurang menyukai membaca teori namun bisa langsung praktek belajar dengan seniman lainnya.

Pada tahun 1943, di masa Jepang telah berhasil menggantikan Belanda dan menduduki kekuasaan Indonesia, Affandi menggelar pameran pertamanya di Gedung Poetera Djakarta.

Empat serangkai—yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiyai Haji Mas Mansyur—sebagai pemimpin Seksi Kebudayaan Poetera ikut ambil bagian dalam pameran tersebut.

Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini, Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab yang langsung berhubungan dengan Soekarno.

Tahun 1945, para tokoh kemerdekaan tengah sibuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan. Tak mau ketinggalan, para seniman dan budayawan juga ikut ambil bagian dengan menebarkan propaganda positif ke seluruh penjuru negeri.

Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok dipenuhi kata-kata penyeru kemerdekaan, seperti “Merdeka atau mati!” yang merupakan kata-kata penutup orasi Bung Tomo.

Affandi sebagai seniman juga turut andil dalam persiapan proklamasi. Ia bertugas membuat poster untuk menggalang kontribusi dan dukungan rakyat Indonesia dalam proklamasi kemerdekaan.

Atas ide Soekarno, poster itu berupa gambar seseorang yang berhasil memutus rantai yang mengikat tangannya. Kabarnya, sosok yang ada di lukisan itu adalah Dullah, salah pelukis aliran realisme Indonesia.

Di bagian bawah poster terdapat pesan “Boeng, Ajo Boeng!” (Bung, Ayo Bung!) yang merupakan usulan penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis lalu bekerja siang-malam memperbanyak poster tersebut untuk dikirim ke daerah-daerah.

Ketika itu, Affandi berkonsultasi pada Chairil Anwar soal kata-kata yang tepat untuk dikomposisikan ke dalam poster. Chairil pun mengusulkan kalimat “Boeng, Ajo Boeng!” yang rupanya kalimat tersebut terinspirasi dari kata-kata pekerja seks komersial ketika menawarkan diri di zaman itu.

Chairil tahu betul, meskipun berasal dari ucapan yang bisa dibilang berkonotatif negatif, namun ajakan tersebut bisa mengandung makna yang positif bila digunakan dalam konteks yang benar. Sebuah kata-kata yang sederhana namun kuat untuk disebarkan ke penjuru negeri.

Akademi Santiniketan

rabindrath tagore
wikipedia

Bakat melukis Affandi juga pernah menorehkan pengalaman menarik pada diri Affandi. Ketka itu, ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk kuliah melukis di Akademi Santiniketan, sebuah akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore.

Affandi pun menerima beasiswa tersebut. Namun sesampainya di sana, ia ditolak dalam program beasiswa tersebut. Alasannya, karena pihak Santiniketan menganggap bahwa Affandi tidak memerlukan pelatihan melukis lagi.

Akhirnya, Affandi menggunakan biaya beasiswa yang telah diterimanya tersebut untuk menggelar pameran-pameran keliling India. Ia tinggal di India selama dua tahun. Dari sanalah, namanya kian menggema di dunia sebagai salah satu pelukis terbaik asal indonesia.

Affandi Koesoema di Masa Orde Baru

Sepulang dari India, pada tahun-tahun 1950-an, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante.

Dalam sidang Konstituante, menurut Basuki Resobowo, biasanya Affandi cuma diam, kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, ia angkat bicara. Affandi masuk komisi perikemanusiaan yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebeum revolusi.

Topik yang diangkat Affandi adalah soal perikebinatangan, bukan perikemanusiaan, dan topik Affandi sempat dianggap sebagai lelucon waktu itu.

Affandi merupakan seorang pelukis yang rendah hati dan masih dekta dengan flora, fauna, dan lingkunga walau hidup di era yang cukup modern. Saat Affandi mempersoalkan perikebinatangan pada tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih tergolong sangat rendah.

Affandi juga merupakan pimpinan pusat Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Soeharto. Ia bagian seni rupa (Lembaga Seni Rupa) bersama dengan Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan lainnya.

Pada tahun 1960-an, sedang gencar-gencarnya gerakan anti imperialis Amerika Serikat yang sedang melakukan agresi terhadap Vietnam. Imbasnya, kebudayaan Amerika pun dianggap sebagai “kebudayaan imperialis”. Berbagai budaya yang berbau Amerika diboikot, semisal film-film dan produk Amerika.

Waktu itu, Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta dan Affandi pun menyambut undangan tersebut. Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan kenapa Affandi yang pimpinan Lekra malah pameran di tempat perwakilan agresor itu?

“Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!” celetuk salah satu teman Lekra dan keruan saja semua tertawa.

Penghargaan Affandi Koesoema

google affandi koesoema
tribunnews.com

Pada rentang waktu tahun 1951 s.d 1977, Affandi banyak menggelar pameran keliling Eropa. Ia ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk mewakili Indonesia dalam pameran internasional di Brazil dan Venezia pada tahun 1954. Ia berhasil memenangkan hadiah pertama di Ssan Paolo.

Pada tahun 1957, Affandi memperoleh tawaran program residensial dari Amerika untuk mempelajari metode pendidikan seni di sana selama empat bulan. Di sana ia juga sempat menggelar pameran tunggal di World House Gallery, New York.

Pada tahun 1962, ia memperoleh gelar guru kehormatan dari Ohio State University. Ia mengajar mata kuliah seni lukis di universitas tersebut.

Pada tahun 1969, Affandi menerima anugerah seni dan medali emas dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pemerintah juga menjadi anggota kehormatan seumur hidup di Akademi Jakarta.

Di tahun yang sama, Affandi dipilih menjadi ketua IAPA (International Art Plastic Association) sebagai perwakilan Indonesia. IAPA merupakan badan seni internasional di bawah naungan UNESCO.

Karena berbagai keistimewaan dan keunikan karya-karyanya, Affandi banyak mendapat julukan yang membanggakan. Koran internasional Herald Tribune menjulukinya sebagai “Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia”, sementara di Florence, Italia, ia diberi gelar Grand Maestro.

Selain itu, Affandi juga sekaligus menjadi anggota komite hak-hak asasi manusia di Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castello San Marzano, Florence, Italia. Sepulangnya dari Italia, ia mendapat undangan dari Raja Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Maryati.

Dari dalam negeri, Affandi mendapat penghargaan piagam tanda kehormatan “Bintang Jasa Utama” dari Presiden Indonesia yang menjabat pada masa itu, Presiden Soeharto pada 1978. Penghargaan tersebut diberikan atas jasa-jasa yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia dalam bidang seni.

Sejak 1986, Affandi juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang penyair pelopor Angkatan ’45, Chairil Anwar, pernah menghadiahkan sebuah sajak yang secara khusus dibuat untuk Affandi. Sajak itu berjudul “Kepada Pelukis Affandi”.

Sebelumnya, pada tahun 1984, Affandi menggelar pameran bersama di Houston, Texas, Amerika Serikat bersama dengan pelukis besar Indonesia: S. Sudjojono dan Basoeki Abdullah.

Tahun 1987, Affandi menggelar pameran tunggal pada ulang tahunnya yang ke-80 yang sekaligus menjadi acara peresmian penggunaan gedung pameran seni rupa milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang telah berganti nama menjadi Galeri Nasional.

Affandi yang Rendah Hati

Meski sudah melalangbuana ke berbagai negeri, Affandi tetap menjadi sosok yang dikenal sederhana dan rendah hati. Bahkan ketika kritikus Barat menyatakan bahwa lukisan Affandi memberikan perspektif baru pada aliran ekspresionisme, ia malah mengatakan, “Aliran apa itu?”

Ia juga kerap menyebut dirinya sendiri sebagai “seniman kerbau” yang secara implisit menyebut dirinya terlalu rendah untuk disebut sebagai seniman. Ia katakan bahwa dirinya lebih pantas disebut tukang gambar.

Pelukis yang menggemari makan nasi dan tempe bakar ini memiliki sosok idola yang terbilang tak lazim. Ketika memilih tokoh wayang, orang-orang biasanya akan memilih tokoh yang bagus, ganteng, gagah, bijak seperti: Arjuna, Gatotkaca, Bima, atau Krisna.

Namun Affandi memilih Sokrasana yang memiliki wajah yang jelek namun sakti. Menurutnya, Sokrasana merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari kata tampan.

Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan perangko baru darseri toko seni Indonesia. Kata Helfy Dirix, cucu Affandi tertua, gambar yang digunakan untuk perangko itu merupakan lukisan self-potrait Affandi tahun 1974.

Akhir Hayat Affandi Koesoema

museum affandi
kotajogja.com

Memang semenjak tahun-tahun Affandi menggelar pameran di berbagai tempat, kesehatannya sudah mulai sering terganggu. Bahkan, kehadirannya pada pembukaan beberapa pameran, ia sudah menggunakan kursi roda.

Namun, semangatnya untuk terus berkarya tak kunjung padam. Pada pembukaan itu, Affandi mendemonstrasikan cara melukis potret diri yang disebut tenggelam di pusaran tujuh matahari.

Karya itu lalu dihadiahkan kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Budaya yang diterima oleh Prof. Dr. Fuad Hasan.

Affandi lagi-lagi memperoleh penghargaan dari Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) yang prosesinya dilakukan di Istana Negara dan diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto. Affandi saat itu masih menggunakan kursi roda.

Penghargaan tersebut berlanjut dengan dibangunnya  Museum Affandi, di sisi kali Gajah Wong Yogyakarta dan sempat dikunjungi oleh Presiden Soeharto bersama dengan tamu negara dari Malaysia, Dr. Mahathir Mohammad.

Salah satu koleksi yang dipamerkan dalam ulang tahun Affandi yang ke-80 adalah sebuah karya yang dengan lukisan seekor ayam jantan yang mati karena dipertarungkan pada sabung ayam. Dalam lukisan tersebut tersemat tulisan “1987, Mati”.

Karya tersebut banyak menimbulkan penafsiran yang dihubungkan dengan kondisi kesehatan Affandi sendiri. Affandi Koesoema berpulang pada tanggal 23 Mei 1990. Jenazahnya dikebumikan tak jauh dari Museum Affandi.

Seputar Karya Affandi Koesoema

Semasa hidupnya, Affandi telah menghasilkan lebih dari 2000 karya lukis.Karya-karyanya yang dipamerkan di berbagai negara Asia, Eropa, Amerika, atau Australia selalu memukau bagi pecinta seni lukis dunia.

Affandi dikenal dengan cara melukisnya yang istimewa. Ia lebih sering melukis dengan cara menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya, lalu menyapu cat itu dengan jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan.

Affandi juga dikenal sebagai pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga kerapkali lukisannya sulit dimengerti oleh orang lain terutama orang awam tentang dunia seni lukis. Namun bagi pecinta seni lukis, justru ciri khas tersebut yang membuat karya-karyanya begitu memikat.

#1. Potret Diri dan Topeng Kehidupan (1961)

lukisan affandi
Potret Diri dan Topeng Kehidupan

#2. Potret Diri (1981)

potret diri affandi
Potret Diri /galeri.nasional.or.id

#3. Ibuku (1941)

ibuku affandi
Ibuku /galeri.nasional.or.id

♣♣♣


Baca juga: Biografi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) – Intelektual dan Budayawan Indonesia


Itulah biografi Affandi Koesoema, seorang maestro lukis Indonesia yang mendunia. Sesosok yang selalu rendah hati dengan berbagai prestasi yang diraihnya dan jasa-jasanya dalam bidang seni untuk Indonesia.

“Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan,” kata Affandi tiap ditanya kenapa ia melukis.

Semoga menginspirasi!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *