Biografi Chairil Anwar Lengkap. Membahas dari kisah masa kecil, kehidupan di Batavia, kisah-kisah percintaan, sampai membahas karya-karyanya yang melegenda. Menginspirasi!
Sebatang patung berbentuk pensil tersemat sebagai nisan Chairil Anwar di TPU Karet, Jakarta Pusat. Tertulis di sana, “Di sini terbaring penyair, pelopor angkatan 45”. Gelar itu diberikan oleh seorang kritikus sastra, H.B. Jassin.
Si pelopor angkatan 45, Chairil Anwar, hidup dalam rentang waktu 27 tahun. Dalam masa hidup yang singkat, ia menghasilkan karya-karya sastra yang tetap hidup hingga kini.
Julukan Si Binatang Jalang disematkan kepadanya lantaran puisinya sendiri berjudul Aku. Banyak orang mengenal namanya, namun cuma segelintir yang benar-benar mengenal pribadinya. Maka, mari kita selami lebih dalam biografi Chairil Anwar yang menginspirasi ini.
Daftar Isi
Profil Chairil Anwar
Nama Tempat Lahir Tanggal Lahir Wafat Nama Ayah Nama Ibu Pendidikan Profesi |
: Chairil Anwar : Medan, Sumatera Utara : 26 Juli 1922 : 28 April 1949 : Toeloes bin Manan : Saleha : Hollandsch-Inlandsche School (HIS); Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) : Penyair/ Sastrawan |
Baca juga: Biografi Wiji Thukul – Sang Aktivis yang Hilang Tak Tentu Rimbanya
Kehidupan Chairil Anwar

Chairil lahir di Binjai, Medan, pada 26 Juli 1922 dalam masa penjajahan Belanda. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes bin Manan dan Saleha. Ayahnya seorang pribumi dari Taeh baruah, Payakumbuh, ibunya dari Situjuh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Ayahnya seorang kontrolir Belanda yang bertugas menjembatani hubungan kepentingan antara Belanda dengan residen dan staffnya. Ibunya, Saleha, seorang putri bangsawan dari Koto Gadang dan masih ada hubungan kerabat dengan Soetan Sjahrir, perdana menteri Indonesia pertama.
Ayah Saleha, kakek Chairil dari pihak ibu, adalah seorang kepercayaan pengusaha Tionghoa yang melegenda di Kota Medan, Thong A Fie, dan adiknya Tjong Yong Hian.
Sebagai anak tunggal, Chairil seringkali dimanjakan oleh orang tuanya, namun ia cenderung bersikap keras kepala dan tidak rela kehilangan apapun. Sedikit cerminan dari orang tuanya yang terbawa hingga ia beranjak dewasa.
Nenek Chairil dari pihak ibu seorang Jawa-Surabaya, yang berperan besar dalam pengasuhan Chairil dari masa kecil hingga remaja. Nenek Tupin merupakan orang terdekat Chairil setelah ibunya.
Sang nenek merupakan tempat pelarian Chairil ketika orang tuanya bertengkar. Chairil sampai mendedikasikan puisi pertamanya yang berjudul Nisan untuk sang nenek yang sudah lama berpulang karena kedekatannya dengan sang nenek.
Pada usia 19 tahun, Chairil pindah ke Batavia bersama ibunya setelah bercerai dari ayahnya. Di Batavia inilah, Chairil mulai berkenalan dan serius bergelut di dunia sastra. Meski telah bercerai, ayahnya masih menafkahinya dan ibunya.
Ibunya merupakan sosok wanita yang paling dicintai Chairil. Ia banyak menulis puisi untuk mendeskripsikan cintanya kepadanya. Ia juga seringkali kehilangan sisi liarnya ketika berada di hadapan ibunya.
Masa Pendidikan Chairil Anwar
Chairil mengenyam pendidikan di sebuah sekolah dasar khusus orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Selepasnya, ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sebuah sekolah menengah pertama pada masa kolonial Belanda.
Pada usia 18 tahun, ia tak lagi bersekolah. Meski berhenti dari sekolah, ia dapat menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Ia menghabiskan waktunya untuk membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron yang kelak sangat berpengaruh pada gaya tulisan Chairil.
Chairil Anwar Sebagai Penyair

Puisi pertamanya berjudul Nisan, yang ditulisnya pada tahun 1942 ketika usianya menginjak 20 tahun untuk mengenang mendiang nenek kesayangannya yang telah lama berpulang.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta
Puisi pertamanya ini berhasil membuat seorang krtikus sastra, H.B. Jassin terhenyak. Ia katakan, belum ada penyair sebelumnya yang membuka baris puisi dengan kalimat yang langsung pada pokok persoalan, bahkan Amir Hamzah sekalipun. Lantas ia ramalkan, Chairil akan jadi penyair masa depan.
Sebelumnya, ia sempat mengirimkan puisi-puisinya pada majalah Pandji Pustaka untuk dimuat. Namun banyak dari karya-karyanya yang ditolak lantaran dianggap terlalu bersifat individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Chairil yang diwariskan kebiasaan membaca oleh sang ayah, ia tumbuh menjadi sosok yang cerdas, keras kepala, dan selalu berusaha untuk menang dalam hal apapun. Karakter tersebut diduga menjadi kekuatan yang mendorongnya menulis “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” dalam puisi Aku.
Aku, merupakan secarik puisi yang menjadi penanda pembaruan, gebrakan angkatan ’45 terhadap para pendahulunya, Pujangga Baru. Puisi ini diciptakan ketika ia mengalami masa-masa kehidupan yang sulit.
Tentang Puisi Aku

Puisi Aku menyebarkan semangat individualisme yang memberontak terhadap propaganda Jepang dengan semboyan persaudaraan Asia-Raya.
“Saudara bisa digebukin orang!”, komentar Rosihan Anwar tentang puisi itu.
Jepang mendirikan lembaga kebudayaan (Keimin Bunka Sidosho) untuk mendudukung kekuasaan Jepang, di dalamnya bekerja Rosihan Anwar, Sanusi Pane, Armijn Pane, serta Usmar Ismail.
Lembaga ini sering mengadakan acara kesenian, diskusi, termasuk pembacaan puisi. Puisi-puisi yang disukai Jepang bertema semangat, mengobarkan semangat peperangan.
Pada suatu acara, seorang gadis bernama Sri Ajati, membacakan karya Asmara yang tidak menunjukkan semangat. Chairil tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan acara tersebut. Semua hadirin menoleh padanya, lalu salah seorang seniman memperkenalkan siapa Chairil.
“Manis, sajakmu barusan cukup romantis! Tapi bukan itu semangat. Kalau mau semangat, ini!” jawab Chairil setelah Armijn Pane menanyai pendapatnya. Lalu ia maju membacakan puisinya, Aku.
“Binatang jalang”, kata itu membuat hadirin terkejut. Menurut Rosihan Anwar, itu memalukan. Tidak ada penyair yang mau menggunakan diksi itu.
“Kalau saya menulis sajak dengan model yang pernah dituliskan penyair lain, lalu apa yang baru? Apa yang akan ditawarkan pada kebaruan sastra kita?” jawab Chairil.
“Tapi siapa yang akan memuat sajak seperti itu?”
“Apakah kebagusan sebuah sajak itu diukur dari termuat atau tidaknya di majalah atau surat kabar? Bung, sajak yang baik itu menguji wawasan redaktur pengasuh sajak, bukan mengikut, mematut-matut dengan selera redaktur, “ kata Chairil.
“Bung, saudara dengan sajak itu tidak bicara tentang masyarakat. Saudara hanya bicara tentang diri saudara sendiri, pikiran saudara sendiri, perasaan saudara sendiri.”
“Apa saya salah? Saya ini bagian dari masyarakat saya. Maka, ketika saya bicara tentang diri saya sendiri, di dalam sajak saya, maka itu artinya saya sedang bicara tentang perasaan dan pikiran masyarakat saya!” jawab Chairil yang tak mau kalah.
Kehadiran Chairil mengobarkan gairah diskusi. Dialog masih berlanjut sepanjang malam.
H.B. Jassin mengakui, ia membuka buku-bukunya, penyair-penyair Belanda seperti Slauerhoff, Marsman, dan penyair lain. Ia merasakan kekuatan hebat dalam sajak Chairil yang mengubah jarum jam periode Pujangga Baru.
Puisi Aku tidak pernah dimuat oleh Asia Raya milik pemerintah Jepang, tetapi dimuat di Pandji Pustaka dengan usulan judul yang diganti menjadi Semangat untuk mengelabuhi pemerintah Jepang.
Tentang Sajak-Sajak Kematian
Sajak-sajak lain bermunculan dan menggambarkan daya hidup, vitalitas, semangat, eros Chairil Anwar. Seperti sajak ini:
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku cukup lama dengar bicaramu,
Dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu
Di sajak yang lain, ia menulis namanya sendiri bersama dengan Mirat, kekasihnya:
Dirinya pada Chairil makin sehati
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras
Menuntut tinggi dan tidak setapak berjarak
Dengan mati
Namun di sisi yang lain, sajak-sajaknya juga mengandung diksi-diksi yang muram dan cenderung akrab dengan kematian. Menurut Hasan Aspahani, sajak-sajak muram Chairil seolah meramalkan kematiannya sendiri, bahkan pada sajak percintaan yang bergelora di atas, ia tetap menambahkan kata “mati” setelahnya.
Banyak memang peristiwa yang mengigatkannya pada kematian. Kematian neneknya, Bohang (sahabat penyair dan gurunya), Dien Tamaela, keadaan sulit akibat penjajahan Jepang, ia melihat sendiri ribuan mayat terbaring antara Karawang dan Bekasi, ditambah gaya hidupnya yang tidak teratur.
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Selain kematian yang mendominasi, ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, individualisme, sampai eksistensialisme. Gaya puisinya memiliki karakter yang khas, multitafsir, baru, namun karya-karyanya menjadi penggebrak pembaruan angkatan ’45 dan masih tetap hidup sampai sekarang.
Kisah Cinta Chairil Anwar

Diceritakan, dalam urusan asmara Chairil memang sosok lelaki yang mudah memikat dan terpikat oleh wanita. Dari sekian banyak karyanya, terselip beberapa nama perempuan yang menjadi persembahan bagi karyanya. Beberapa di antaranya:
Ida Nasoetion
Ida seorang mahasiswi sastra Universitas Indonesia. H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana memujinya sebagai penulis esai dan kritik sastra yang gemilang. Ia juga mengelola ruang kebudayaan Gelanggang di Majalah Siasat bersama Chairil.
Dari sana, Chairil jatuh hati padanya. Pada Februari 1943, melalui puisi Ajakan, ia menulis:
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Tapi sayang, ajakan Chairil tak terbalas. “Chairil itu memang binatang jalang yang sesungguhnya. Namun, apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak keruan itu?” ujar Ida kepada H.B. Jassin kala itu.
Meski Chairil tak mendengar secara langsung penolakan Ida, rupanya ia merasakan juga sikap Ida. Tanggal 7 Juni 1943, lewat puisi bercerai, ia menulis kalimat “kita musti bercerai…” sebanyak dua kali.
Sebulan setelahnya, Chairil menulis sebuah naskah pidato yang akan dibacakan di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, sebuah lembaga kebudayaan bentukan Soekarno pada zaman Jepang.
Sekujur teks pidato dipenuhi nama Ida. Ia mengawalinya dengan kalimat, “Ida! Idaku-sayang!”. Berikutnya, nama itu muncul lagi, “Ida! Rangkaian jiwa, lihat!” selanjutnya, “Ida! Ida! Ida!”. lantas ditutup dengan kalimat, “Sayangku mesra.”
Kasih tak sampai, tapi cinta Ida begitu mengikat. Pada 14 juli 1943, lewat puisi Merdeka, Chairil menulis:
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Nasib Ida berakhir tragis. Pada tahun 1948, surat kabar De Locomotief melaporkan, seorang esais berumur 26 tahun, Ida Nasoetion, hilang ketika melakukan perjalanan menuju Bogor.
Atas kejadian itu, Chairil menulis, ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”/Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam/ranjang padang putih tiada batas.
Sri Ajati
Sri Ajati berkuliah di jurusan bahasa Belanda, Universitas Indonesia dari tahun 1940-1942. Ketika Jepang masuk, semua sekolah dan kampus ditutup. Anak-anak muda kemudian sering berkumpul di gedung Pusat Kebudayaan, termasuk Sri dan Chairil.
Tahun 1946, Sri pindah ke Serang, Banten bersama dengan suaminya. Di sana, seorang anak angkat Bung Sjahrir mendatanginya dan mengabarkan bahwa Chairi telah membuat sajak untuknya.
Sajak pertama berjudul “Hampa”, ditulis pada Maret 1943, di bawah judulnya tertulis, “untuk Sri yang selalu sangsi”.
Sajak kedua berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Di bawah judul lagi-lagi tertulis, “buat Sri Ajati”.
Tiada lagi. Aku sendirian.
Berjalan menyisir semenanjung
Masih pengap harap
Sekali tiba di ujung
Dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat
Sedu penghabisan bisa terdekap
Setelah sekian waktu, Sri pindah lagi ke Jakarta. Ia sempat melihat lagi sajak itu di surat kabar Pedoman pimpinan Rosihan Anwar. Ia kaget karena ia benar-benar baru mengetahui kalau Chairil menulis sajak untuknya.
Menurut H.B. Jassin, Sri merupakan perempuan dengan tinggi semampai, berkulit hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan dalam. Berdasarkan pengakuan Sri, Chairil tak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Sri Ajati meninggal pada 30 Desember 2009 silam.
Sumirat
Mirat belajar melukis kepada S. Soedjojono, dan Affandi. Satu saat, ia pergi berpiknik bersama keluarga ke pantai di Cilingcing. Di sana, ia melihat Chairil tengah duduk bersandar di sebatang pohon sembari membaca buku tebal.
Ternyata, sifat Chairil yang masa bodoh terhadap keramaian membuat Mirat terpikat. Ketika pulang, ia masih memikirkan pemuda itu. Ketika melukis, wajah Chairil muncul di benaknya.
Tak lama setelah itu, Mirat mendapat kabar bahwa Chairil terkena kasus. Chairil dituduh mencuri sprei dari jemuran orang yang berada di halaman rumah, lantas ketahuan dan dilaporkan ke polisi.
Sutan Takdir Alisjahbana yang mengetahui kasus itu dari ibu Chairil, bersama kawan-kawannya patungan untuk menebus sprei yang dicuri Chairil.
Di antara mereka juga mencoba melobi pegawai pengadilan dan ia katakan bahwa Chairil adalah seorang penyair berbakat yang penting kedudukannya di masyarakat. Usaha mereka berhasil, Chairil bebas. Ternyata, seorang pegawai pengadilan itu saudaranya si Mirat.
Setelah ditolong, Chairil jatuh hati pada Sumirat. Mirat katakan:
“Dan dibawanya tumpukan kertasnya yang berisi hasil karya sastranya. Kami berdiskusi, sulit untuk mengalahkan atau membelokkan kemauannya. Dia seorang yang terlampau yakin kepada dirinya sendiri, tegas dan berani. Kukagumi dirinya sepenuh hatiku,”
Kisah percintaan mereka ternyata mencemaskan orang tua Mirat lantaran Chairil yang seorang pengangguran. Mirat dipanggil pulang ke Paron, sebuah desa kecil antara Kota Solo dan Madiun. Chairil sempat menyusulnya, namun sebuah penolakan halus harus diterimanya.
“Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi,” kata orang tua Mirat.
Hapsah Wiriaredja
Akhirnya, Chairil menikahi Hapsah pada September tahun 1946 setelah tiga bulan berkenalan. Dari Hapsah, ia dikaruniai seorang putri, Evawani Alissa pada 17 Juni 1947.
Sayang, kelahiran putrinya tak mampu menyelamatkan keretakan rumah tangganya karena faktor ekonomi. Mereka pun bercerai akhirnya.
Meski cuma dari Hapsah ia dikaruniai keturunan, tidak ada satu baris sajak pun dalam karya-karya yang diterbitkannya yang dipersembahkan untuk Hapsah. Hasan Aspahani yang menulis biografi Chairil, berhasil menemukan sebaris sajak, ditulis tangan, memakai pensil, berjudul “buat H”.
Aku berada kembali di kamar/bersama buku/seperti sebelum bersamamu dulu.
Hasan menduga, sajak itu memang untuk Hapsah. Sebuah kerinduan yang mendalam kepada sosok isterinya. Ia katakan:
“Dia kangen sama istrinya di hari-hari terakhir jelang kematiannya. Dia kangen pada istri dan rumahnya dulu. Dan ‘Buat H’, menurut H.B. Jassin memang buat Hapsah.”
Akhir Hidup Chairil Anwar

Vitalitas puisi Chairil tak seimbang dengan kondisi fisiknya. Ia sudah lama mengidap penyakit paru-paru dan infeksi. Penyakit inilah yang menyebabkan fisiknya melemah.
Di hari-hari terakhirnya, ia tak memiliki uang untuk berobat. Ia lari kepada Baharuddin untuk meminjam uang. Baharuddin yang sedang taidak punya pun mengatakan, “Ini…juallah pulpenku!”
Sakit Chairil semakin parah. Wajahnya putih pucat tak ada darah. Darahnya habis keluar dari duburnya karena infeksi usus dan muntah karena sakit paru-paru. Ia digotong ke rumah sakit Cipto.
Daud Yusuf, Tino Sidin, Hardiman, dan teman-temannya menggotongnya menggunakan selimut. Kedatangan Chairil yang kedua itu sudah terlalu larut malam sehingga dokter tak bersedia mengobati.
Teman-temannya kembali menggotong Chairil pulang ke rumah Sam Suharto di Paseban di bawah guyuran hujan dan angin kencang. Di kos yang juga menumpang itu Chairil dibaringkan di atas karpet tipis yang lusuh karena hanya itu yang ada.
Tujuh hari ia terbaring di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta) sebelum akhirnya wafat pada 28 April 1949. Sebelum wafat ia sempat mengigau, “Tuhanku, Tuhanku…”
Tak diketahui pasti penyebab kematiannya. Diduga karena penyakit TBC. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Sebelumnya, ia sudah mengidap penyakit paru-paru dan infeksi yang membuat dirinya lemah, sehingga membawa penyakit usus dan berujung kematian.
Seperti pesannya, ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan penggemarnya dari masa ke masa. Hari kematiannya pun juga diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan, “Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus.”
Ia meninggalkan seorang anak, Evawani Alissa yang dibawa mantan istrinya, Hapsah. Ia mewariskan juga satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaos kaki hitam, selembar uang rupiahan, serta satu map berisi kertas tulisan tangan sajak-sajaknya.
Karya-Karya Chairil Anwar

Dalam masa hidup yang singkat, 27 tahun, diperkirakan Chairi Anwar telah menghasilkan sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi. Kebanyakan karya-karyanya tidak dipublikasikan hingga kematiannya.
Puisi pertama yang ditulis berjudul Nisan untuk mengenang mendiang neneknya. Puisi terakhirnya yang ditulis berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh,dan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang-Bekasi.
Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950).
Karya-Karya Chairil yang Diterbitkan
- Deru Campur Debu (1949)
- Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
- Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
- “Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949”, disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998) - Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
- Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck
Karya-Karya Chairil yang Diterjemahkan ke Bahasa Asing
- “Sharp Gravel, Indonesian Poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)
- “Cuatro Poemas Indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
- Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
- “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
- The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
- The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
- Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
- The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
- Dalam Kumpulan “Poeti Indonezii” (Penyair-Penyair Indonesia). Terjemahan oleh S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, № 4, hlm. 3-5; 1960, № 2, hlm. 39-42.
- Dalam Kumpulan “Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov” (Suara Tiga Ribu Pulau). Terjemahan oleh Sergei Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.
- Dalam Kumpulan “Pokoryat Vishinu” (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair Malaysia dan Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C, 2009, hlm. 87-89.
Kontroversi Chairil Anwar

Meski karya-karyanya banyak digemari, seorang kritikus sastra, H.B. Jassin pernah melontarkan kritikan pada puisi Krawang-Bekasi yang dianggapnya sebagai karya plagiat dari sajak The Dead Young Soldiers tulisan Archibald MacLeash.
Namun begitu, H.B. Jassin tetap membelanya dalam sebuah esainya, ia katakan:
“Sajak Chairil begitu bagus dan gambarannya lain sama sekali dengan sajak MacLeash. Memang mereka membicarakan hal yang sama. Tapi kalaupun orang mengklaim Krawang-Bekasi adalah sajak terjemahan, ya sebenarnya tidak juga. Saya merasa bahwa sajak ini sungguh-sungguh sesuatu yang dirasakan Chairil Anwar.”
***
Baca juga: Biografi Sapardi Djoko Damono – Legenda Sastra Masa Kini
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga tulisan kita hari ini. Sebuah biografi Chairil Anwar paling lengkap ditulis dari beberapa referensi. Mulai dari masa kecilnya, kehidupannya, masa di mana ia memulai menggeluti dunia sastra, sampai membahas seputar karya-karyanya yang tetap abadi.
Inilah biografi Chairil Anwar lengkap, semoga bermanfaat!
Baca juga: Biografi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) – Intelektual dan Budayawan Indonesia