Biografi Raden Saleh, sang pelopor seni lukis modern Indonesia. Orang Jawa yang mendapat gelar bangsawan di Eropa. Mengispirasi!
Suatu hari, beberapa pelukis muda Belanda melukis bunga dan memperlihatkannya kepada Raden Saleh. Beberapa kumbang dan kupu-kupu hinggap di atasnya terkecoh dengan lukisan tersebut. Mereka lantas mencemooh Raden Saleh.
Merasa terhina, diam-diam Raden Saleh menyingkir selama berhari-hari. Karena cemas, teman-temannya menghampiri rumahnya dan masuk dengan mendobrak pintu. Mereka menjerit. “Mayat Raden Saleh” terkapar di lantai berlumuran darah.
“Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tapi gambar saya bisa menipu manusia,” ujar Raden Saleh tersenyum muncul di hadapan mereka.
Raden Saleh adalah seniman Indonesia pertama yang melukis dengan disiplin Barat. Ia dinobatkan sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Selengkapnya, mari kita simak ulasan lengkap biografi Raden Saleh di bawah ini!
Daftar Isi
Profil Raden Saleh
Nama Lengkap
Raden Saleh Sjarif BoestamanNama Panggilan
Raden SalehTempat lahir
Semarang, Hindia BelandaTahun Lahir
1811 atau 1814Meninggal
Buitenzorg (Bogor), 23 April 1880Nama Ayah
Sayyid Husen bin Alwi bin Awal bin YahyaNama Ibu
Mas Adjeng Zarip HuseinPasangan
Raden Ayu DanoediredjoProfesi
Pelukis
Lebih Dekat dengan Raden Saleh

Raden Saleh Sjarif Boestaman lahir di Terboyo, dekat Semarang. Tahun lahirnya simpang siur. Dalam sebuah lukisan pitret diri, Raden Saleh menulis lahir Mei 1811, namun dalam sebuah surat ia pernah menyebutkan tahun 1814.
“Bisa jadi karena dahulu di Jawa berlaku hitungan kalender Jawa (Saka) dan Islam sehingga Raden Saleh agak bingung ketika harus menyesuaikan dengan hitungan kalender Masehi,” kata Werner Kraus, kurator asal Jerman yang mendedikasikan seperempat abad hidupnya untuk mempelajari karya Raden Saleh.
Kraus lebih setuju tahun 1811 karena sesuai dengan data bahwa Raden Saleh mulai belajar melukis pada 1819 ketika berumur 8 tahun, ketika dirinya masih bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa-Arab dari pasangan Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja dan Mas Adjeng Zarip Hoesen. Ia merupakan cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya.
Ketika baru berusia sepuluh tahun, Raden Saleh diserahkan kepada pamannya, Kyai Adipati Soero Menggolo, yang saat itu menjabat sebagai bupati Semarang, ketika Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Pamannya tersebut merupakan salah satu anggota Javaansch Weldadig Genootschap (masyarakat filantropi). Sebagian besar anggotanya adalah pejabat Belanda. Melalui perkumpulan tersebut, mendorong minat Raden Saleh pada seni lukis dan kebudayaan Eropa.
Keramahan Raden Saleh dalam bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Pulau Jawa dan sekitarnya, menilainya pantas untuk bekerja di Lembaga Pusat Penelitian Pengetahuan dan Kesenian di Bogor.
Pada tahun 1817, Raden Saleh tiba di Batavia. Di lembaga tersebut, Raden Saleh bertemu dengan Antonie Auguste Joseph Paiyen, seorang pelukis keturunan Belgia yang ditugaskan pemerintah kolonial untuk melukis pemandangan alam di Hindia Belanda untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen Belanda.
Bakat melukis Raden Saleh pun akhirnya tercium juga oleh Payen, ia pun berinisiatif untuk memberikan bimbingan melukis. Raden Saleh banyak belajar darinya, mendalami teknik seni lukis Barat melalui bimbingan Payen. Payen juga mengajak Raden Saleh muda dalam perjalanan dinas keliling Jawa untuk mencari model dan pemandangan untuk dilukis.
Baca juga: Biografi Basoeki Abdullah, Maestro Lukis Indonesia yang Mendunia
Belajar ke Negeri Belanda

Ketika Payen harus kembali ke Eropa pada 1825, Raden Saleh sudah menjadi bagian dari keluarga Jean Baptise de Linge, seorang akuntan di Direktorat Jenderal Keuangan. Ketika itu, de Linge diperintahkan untuk melakukan perjalanan ke Belanda. Dalam perjalanan tersebut, Raden Saleh ikut bersama mereka.
Setelah tugas selesai, ketika de Linge hendak bertolak dari Belanda, Raden Saleh justru memutuskan untuk tinggal dan belajar lebih lama di Belanda.
Setelah permohonannya diterima oleh Mr. G.G. Clifford—Menteri Pekerjaan Air, Industri Nasional dan Urusan Jajahan—, Raden Saleh diberikan izin tinggal selama dua tahun dan segala keperluan Saleh juga ditunjang oleh kas pemerintah Belanda. Selama itu, ia tinggal di rumah J.W. Nibbelink dan memahirkan bahasa Belanda di bawah asuhan J. Verheys dan Ten Brummeler.
Di Den Haag, Belanda, Raden Saleh belajar melukis potret di bawah bimbingan Cornelis Kruseman. Kruseman merupakan pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan. Selain potret, Raden Saleh juga belajar melukis pemandangan kepada ahlinya, Andries Schelfhout. Karya dua guru Saleh ini memang memenuhi selera orang Belanda masa itu.
Raden Saleh semakin mengukuhkan dirinya sebagai pelukis dengan menggelar pameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terkesima. Mereka tak menyangka seorang pelukis muda asal Hindia Belanda ini bisa menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.
Mengembara ke Eropa

Ketika masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh kemudian mengajukan permohonan untuk boleh tinggal lebih lama untuk belajar ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat, selain melukis. Dalam perundingan antara Raja Willem II dan pemerintah Hindia Belanda, ia diberikan izin untuk tinggal lebih lama, namun tunjangan dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Pada tahun 1939, pemerintah Belanda memberikan kesempatan Raden Saleh untuk mengunjungi negara-negara di Eropa. Bertolak ke Dressden, Jerman Timur, untuk menambah ilmu dan tinggal di sana selama lima tahun dan mendapat sambutan hangat dari kaum elite Jerman.
Di Jerman, Raden Saleh menjadi salah satu bagian dari sejarah seni rupa Jerman. Ia orang pertama di Jerman yang melukis dengan gaya orientalisme, ketika itu seni rupa Jerman belum mengenal gaya orientalisme. Ia juga sempat belajar pada seorang pelukis lanskap, Johan Clausen Dahl.
Pada tahun 1844, Raden Saleh kembali ke Belanda. Raja Willem II berkenan menerimanya dan menganugerahi penghargaan Bintang Eikenkroon. Raden Saleh pun diangkat menjadi pelukis istana Kerajaan Belanda.
Setahun kemudian, Raden Saleh bertolak ke Paris dan tinggal di sana selama beberapa tahun, di saat-saat aliran romantisisme sedang gandrung-gandrungnya di sana yang berkembang sejak awal abad 19.
Di Paris, Perancis, ia bertemu dan bersahabat dengan seorang pelukis militer, Bonapartist Horace Vernet yang begitu mempengaruhi permainan warnanya. Namun dalam hal menampilkan suasana objek lukisan, ia lebih terpengaruh pelukis besar aliran romantisisme Perancis, Ferdinand Victor Eguene Delacroix.
Semenjak itu, lukisan-lukisan Raden Saleh mulai terpengaruh dengan aliran romantisisme. Ia mulai melukis berbagai satwa liar yang dipertemukan dengan manusia, seperti “Berburu Banteng di Jawa”, “Perkelahian dengan Singa”, “Berburu Singa di Jawa”, dan “Banjir di Jawa”.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa melalui karyanya, Raden Saleh menyindir hawa nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain, dengan berburu berbagai satwa liar: banteng, rusa, singa, dan sebagainya.
Seniman Perancis yang turut mempengaruhi karakter lukisan Raden Saleh adalah Theodore Gericault. Lukisan “Banjir di Jawa” seperti dipengaruhi “The Raft of Medusa” karya Gericault. Keduanya sama-sama menggambarkan suasana dramatis sekelompok orang yang menyelamatkan diri dari bencana.
“Banjir di Jawa” menggambarkan sekelompok orang yang menyelamatkan diri dari bencana banjir di atap rumah. “The Raft of Medusa” menggambarkan tentang orang-orang yang menyelamatkan diri dari bencana badai di lautan pada sebuah rakit.
Pada tahun 1846, Raden Saleh bersama sahabatnya, Horace Vernet, bertolak dari Perancis menuju Aljazair dan tinggal selama beberapa bulan di sana. Dari sanalah, lahir inspirasi baru bagi Raden Saleh untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir dan membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar.
Di Perancis, Raden Saleh juga sempat diperkenalkan dengan Raja Perancis, Louis Philippe. Pertemuan di awal Mei 1845 itu, membuka jalan bagi Raden Saleh untuk membangun relasi dengan kaum bangsawan Perancis. Namun pada 1849, revolusi Februari Perancis pecah dan terus bergejolak sampai melebar ke negara-negara tetangga, dan Raja Philippe pun turun tahta.
Pengembaraan Raden Saleh tak cuma berhenti di Perancis, ia juga sempat melawat ke negara tetangga seperti Austria dan Italia. Pada tahun 1851, Raden Saleh akhirnya pulang ke Jawa.
Kembali Pulang ke Nusantara
Pada tahun 1851, Raden Saleh bertolak dari Eropa, kembali pulang ke Hindia Belanda. Ia mendapat tugas sebagai konservator “Kumpulan Koleksi Benda-Benda Seni”. Ia juga mengembara ke Jawa untuk melukis potret raja dan bangsawan di samping terus melukis pemandangan.
Diceritakan pada tahun 1853/1854, Raden Saleh bertemu dengan Constancia von Mansfeldt, seorang janda muda keturunan Jerman yang lahir di Semarang. Suaminya telah meninggal dan jandanya yang masih muda mengambil alih kepemilikan perkebunan terbesar dan terkaya di Jawa.
Raden Saleh menikahi Constancia sekitar 1855/1856 dan tinggal di Kampung Gunung Sari, di utara kota, di sisi sungai Ciliwung. Dengan kekayaan istrinya, Raden Saleh membangun sebuah rumah besar di Batavia pada 1857/1858.
Di saat kariernya kian melambung, Raden Saleh harus menerima kenyataan pahit karena pernikahan pertamanya harus berakhir dengan perceraian. Namun begitu, pada 1868, ia kembali menikah dengan Raden Ayu Danoediredjo, seorang gadis keluarga ningrat dari Keraton Yogyakarta
Lukisan Penangkapan Diponegoro

Ketika kembali di Batavia, dalam struktural masyarakat, Raden Saleh bisa dibilang setara dengan bangsawan lainnya. Namanya kian berkibar tentu berkat pendidikan di Eropa dan berbagai penghargaan dari karya-karyanya yang membuat takjub masyarakat Eropa.
Namun di balik gemerlap namanya, Raden Saleh justru dipandang sinis oleh beberapa kerabat. Ketika kerabatnya merasakan kesengsaraan akibat diskriminasi kolonial Belanda, ia justru menikmati berbagai kemewahan hidup yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Orang-orang tak sungkan mempertanyakan nasionalis dalam diri Raden Saleh.
Namun, anggapan tersebut kemudian disangkal oleh Peter B.R. Carey lewat lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh. Menurut Carey, dalam lukisan tersebut mengesankan pembelaan dari Raden Saleh terhadap masyarakat pribumi dari kolonialisme Belanda, meski nyatanya ia tak bisa berbuat apa-apa.
Pada tahun 1830, setelah berhasil menangkap Pangeran Diponegoro yang menandai patahnya perlawanan Jawa, Hendrick Merkus de Kock kembali ke Belanda dan mendapat gelar sebagai pahlawan nasional. Untuk merayakan dan menandai kesuksesan itu, ia meminta Cornelis Kruseman—guru Raden Saleh—untuk melukisnya.
Menurut Werner Kraus, Raden Saleh ada di sana saat Kruseman menggambar de Kock. Saleh yang orang Jawa menyaksikan bagaimana orang yang telah menangkap Diponegoro dengan bangga digambar di hadapannya.
Di saat yang lain, de Kock juga meminta Nicolaas Pieneman untuk membuat lukisan peristiwa penangkapan Diponegoro untuk menandai keberhasilan karier militernya. Pieneman pun menggarap lukisan “Penaklukan Diponegoro”. Sebagai perlawanan, Raden Saleh membuat “Penangkapan Diponegoro” versinya yang kemudian ia serahkan kepada Raja Willem III.
Lukisan Pieneman terkesan menonjolkan penyerahan Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Di belakangnya, Jenderal de Kock berdiri berkacak pinggang dan menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Berbeda dengan lukisan Pieneman, di lukisan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dengan pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah. Tangan kirinya mengepal menggenggam tasbih.
Dalam segi sudut pandang, Pieneman menggambarkan peristiwa penangkapan itu dengan mengambil angel dari sisi barat daya, sementara Raden Saleh dari sisi tenggara. Lukisan Pieneman juga memperlihatkan adanya tiupan angin dari barat yang membuat bendera Belanda berkibar, sementara Raden Saleh tak menampakkan bendera Belanda di lukisannya.
Dalam segi permainan latar cuaca, Pienmen menampilkan suasana penangkapan dengan latar cuaca yang cerah yang menyiratkan bahwa peristiwa itu merupakan kemenangan bagi Belanda. Sementara Raden Saleh menampakkan latar cuaca yang muram, menyiratkan bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa muram bagi masyarakat Jawa.
Mengenai sikap nasionalisme Raden Saleh, Werner Kraus katakan:
“Pada masanya hal yang dilakukan Raden Saleh mungkin masih jauh bila dikaitkan dengan persoalan nasionalisme. Tapi saat itu dia telah menunjukkan antikolonialisme. Dia pernah diduga menyebarkan berita soal buruknya perlakuan Belanda terhadap Diponegoro, dan hal itu termuat di salah satu media Prancis hingga menimbulkan banyak protes ke pemerintah Belanda.”
Akhir Hayat Raden Saleh

Sempat beredar cerita, penyebab kematian Raden Saleh karena diracuni pembantunya sendiri yang sempat dituduh telah mencuri. Namun setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, diketahui bahwa aliran darahnya terhambat karena pengendapan yang terjadi di dekat jantungnya.
Jenazahnya kemudian dikebumikan di TPU Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Koran Javanese Bode turut melaporkan bahwa, “pemakaman Raden Saleh dihadiri sejumlah tuan tanah dan pegawai Belanda, serta sejumlah murid penasaran dari sekolah terdekat.”
Dulu, ia menghibahkan sebagian halaman rumahnya yang luas untuk dijadikan kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sedangkan rumahnya masih bertahan hingga kini dan menjadi Rumah Sakit PGI Cikini.
Penghargaan Raden Saleh

Selama menjelajahi Eropa, Raden Saleh melahirkan banyak karya lukisan yang berhasil merebut banyak hati pejabat dan bangsawan Eropa. Lukisannya banyak dipesan oleh tokoh-tokoh bangsawan seperti Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels.
Sebagai bukti daya magis dari tangannya, Raden Saleh mendapatkan gelar bangsawan dari Raja Willem II, bintang Ridder der Orde van de Eikenkroon (R.E.K.). Sebuah kebanggan bagi Raden Saleh sebagai orang Jawa karena gelar tersebut hanya diberikan kepada orang-orang yang berjasa pada bidang sipil, militer, dan seniman hebat.
Pada tahun 1950, Raden Saleh memperoleh gelar resmi “Pelukis Sang Raja” yang disematkan kepadanya ketika tampuk kekuasaan Kerajaan Belanda beralih ke Raja Willem III. Selain sebagai penghargaan untuk pencapaian-penacaian Raden Saleh, gelar tersebut juga membuat dirinya semakin dipandang.
Selain itu, tak sedikit pula yang menganugerahi Raden Saleh tanda penghargaan, di antaranya: Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), dan Ridder van de Witte Valk (R.W.V.).
Pada tahun 1969, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta, memberikan penghargaan berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia untuk Raden Saleh.
Ir, Silaban atas perintah Presiden Soekarno melakukan pembangunan ulang makam Raden Saleh di Bogor. Lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PPT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya.
Dalam rangka memperingati tiga tahun kematiannya, pada 1883, lukisan-lukisan Raden Saleh dipamerkan di Amsterdam, di antaranya: “Hutan Terbakar”, “Berburu Kerbau di Jawa”, dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Lukisan-lukisan tersebut dikirimkan oleh Raja Willem III dan Pangeran van Saksen Coburg-Gotha.
Baca juga: Biografi Sujiwo Tejo – Seniman Edan Presiden Jancukers
Karya-Karya Lukis Raden Saleh
Lukisan-lukisan Raden Saleh banyak dijumpai di negara-negara Eropa. Karena memang ia menghabiskan sekian tahun hidupnya untuk mengembara ke Eropa untuk menuntut ilmu dan pengalaman. Bertemu dengan seniman-seniman Eropa juga banyak mempengaruhi gagasan-gagasannya dalam berkarya.
Berinteraksi dengan banyak guru dan seniman lukis Eropa dengan berbagai aliran sedikit banyak memberikan pengaruh dalam lukisan-lukisan Raden Saleh. Ciri aliran romantisisme juga cukup kental memberikan kontribusi dalam karya Raden Saleh setelah dirinya menjelajahi Eropa.
Aliran romantisisme adalah aliran yang mengutamakan imajinasi, emosi, dan sentimen idealisme yang umumnya dituangkan melalui alegori alam. Selaras dengan lukisan-lukisan Raden Saleh yang banyak melibatkan satwa liar dan pemandangan alam yang dramatis.
#1. Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)

#2. Banjir di Jawa (1865-1875)

#3. Potret Herman Willem Daendels (1838)

#4. Perburuan Rusa (1846)

***
Baca juga: Biografi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) – Intelektual dan Budayawan Indonesia
Itulah biografi Raden Saleh, semoga mengispirasi!