Biografi Remy Sylado, Sastrawan Pelopor Puisi Mbeling

Memaparkan biografi Remy Sylado, sang pelopor gerakan mbeling yang berpengaruh besar dalam sastra Indonesia.


Remy Sylado sudah luas dikenal sebagai penggagas gerakan puisi mbeling dalam dunia kesusastraan Indonesia. Seorang sastrawan yang memiliki banyak talenta.

Dengan pemahaman yang mendalam dan pemikiran yang selalu tajam mengkritik berbagai fenomena dalam lingkup sastra dan seni. Dari puisi-puisi sakral sampai lagu-lagu pop khas Bimbo, Koes Plus, dan Rollies tak lepas dari kritikan frontalnya.

Mungkin sebagian orang belum mengenal bahkan begitu asing dengan nama Remy Sylado. Maka setelah ini akan kita simak secara mendalam biografi Remy Sylado yang mungkin tak banyak orang tahu. Nabda’ bil basmalah!


Baca juga: Biografi Wiji Thukul – Sang Aktivis yang Hilang Tak Tentu Rimbanya


Profil Remy Sylado

Nama Lengkap
Nama Singkatan
Nama Panggilan
Nama SamaranTempat Lahir
Tanggal Lahir
Nama Ayah
Nama Ibu
Pendidikan/Karier
: Yapi Panda Abdiel Tambayong
: Japi Tambayong
: Remy Sylado alias 23761
: Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel
: Makassar, Sulawesi Selatan
: 22 Juli 1945
: Johannes Hendrik Tambajong
: Juliana Caterina Panda
:

  • SD Karangasem Semarang
  • SMP Katolik Semarang
  • SMAN Solo
  • Akademi Kesenian Surakarta
  • Akademi Teater Nasional Indonesia
  • Seminari Teologia Baptis, Semarang
  • Wartawan Sinar Harapan (1963-1965)
  • Redaktur Harian Tempo, Semarang (1965-1966)
  • Redaktur Majalah Aktuil, Bandung (1970-1975)
  • Redaktur Majalah Top (1973-1976)
  • Redaktur Majalah Jayagiri (1979-1980)
  • Mendirikan grup drama Padepokan Teater, Jakarta (1980)
  • Kontributor Majalah Adam & Eva (1976-1977)

Baca juga: Biografi Chairil Anwar – Sang Penyair Pelopor Angkatan 45


Lebih Dekat dengan Remy Sylado

biografi remy sylado
konfrontasi.com

Yapi Panda Abdiel Tambayong atau Japi Tambayong dilahirkan di Makassar, 22 Juli 1945. Ia memiliki banyak nama pena. Jubal Anak Perang Imanuel, Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, dan yang paling familiar, Remy Sylado.

Ia juga sering menuliskan namanya dengan not angka 23761. Angka ini diambil dari kord pertama lirik lagu And I Lover Her milik The Beatles: 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do). Interpretasi lain, konon angka ini merupakan sebuah tanggal dimana Remy pertama kali mencium seorang perempuan pada 23 Juli 1961.

Namun, Remy sendiri mengaku angka itu dibuat secara asal-asalan. Angka ini kemudian ia gunakan untuk nama sebuah kelompok teater yang ia buat di Bandung, Dapur Teater 23761.

Remy merupakan anak bungsu yang tak terlalu ingat sosok ayahnya. Ayahnya, Johannes Hendrik Tambajong, wafat setelah ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang.

Mengutip dari cerita Remy kepada Beritagar.id, Ayahnya merupakan seorang pendeta kelahiran Magelang, Jawa Tengah. Ia ditangkap karena dituduh memberikan lampu kepada pesawat yang sedang melewati Malino, Sulawesi Selatan. Ia katakan:

“Ayah saya dituduh antek Amerika Serikat karena dia bekerja untuk misi zending dari negara itu. Kakek saya tentara Belanda.”

Tentara Jepang yang tak suka dengan aksi Johannes Tambajong, menangkap dan menyiksanya. Selain menerima pukulan, Johannes juga harus tidur dalam sebuah papan sepanjang 30 sentimeter yang berada di atas got depan kantor Kompeitai (polisi militer Jepang) selama berhari-hari.

Seorang politisi asal Minahasa yang cukup berwibawa dan berpengaruh saat itu, Sam Ratulangi, melakukan perundingan dengan Jepang untuk membebaskan Johannes. “Ya bebas, tapi keluar dari situ dia (jalannya) sudah bongkok. Tidak lama dia meninggal,” ujar Remmy mengingat cerita ibunya.

Tentara Jepang yang dulu menyiksa ayah Remy, memberikan sebuah buku untuknya sebagai permintaan maaf. Remy masih ingat nama tentara itu, Miyahira.

Buku itu masih tersimpan rapi di rumah Remy. isinya berupa kumpulan puisi dari abad sebelum masehi sampai tahun 1939. “Bayangkan, di buku itu disertai lukisan-lukisan pendeta Shinto yang menulis sastra,” katanya.

Teks dari buku itu pun pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis. “Dia ternyata pembaca sastra tapi kejamnya luar biasa. Tapi setelah itu dia minta-minta ampun dan menjadi baik”, kata Remy dalam perbincangan dengan Beritagar.

Perjalanan Remy Sylado Berkesenian

seni remy sylado
tempo.co

Ibu Remy, Juliana Caterina Panda, membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Setelah ayahnya wafat, sang ibu yang seorang petani dan sempat sekolah tiga tahun, membawa ketiga anaknya ke Semarang dan bekerja di Seminari Teologia Baptis.

Perjalanan Remy dalam dunia seni berawal dari sana. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Remy sudah bisa bernyanyi dengan teknik yodel dan menulis kaligrafi Arab dan ayat-ayat Alquran.

Remy juga berbakat di bidang seni rupa. Diceritakan semasa di sekolah dasar, Remy sempat memenangkan sebuah lomba seni lukis tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Semarang. Bakatnya ini kelak mendorongnya masuk di Akademi Kesenian Surakarta untuk mendalami seni rupa.

Dalam dunia seni peran, Remy pernah melakonkan sebuah drama ketika berumur empat tahun sebagai seekor domba di kandang natal. Ketika tubuhnya tumbuh menjadi lebih besar, lakonnya berubah menjadi seekor anak sapi.

Atas dasar ketertarikan Remy dan pengalamannya pada seni peran, kelak menuntutnya belajar di Akademi Teater Nasional dan mendirikan sebuah kelompok teater yang diberi nama Teater 23761.

Buku bacaanya merentang dari dongeng, cerita-cerita anak, buku teologi, buku-buku sejarah, sampai buku-buku berbahasa Inggris. Pada masa kecilnya, Remy seringkali membolos sekolah karena memang ia termasuk anak yang tak betah sekolah.

Dikisahkan juga sewaktu duduk di bangku SMP, seorang guru bahasa memberi tugas kepada murid-muridnya mengarang sebuah cerita sepanjang satu halaman. Namun Remy mampu mengarang tak kurang dari empat halaman. Bahkan, hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas lain.

Ketika remaja, Remy membuat sebuah grup musik, Remy Sylado and The Company dan kerap membawakan lagu-lagu Elvis Presley. Dari sini, ia menemukan nama Remy Sylado yang diambil dari sebuah not dari intro lagu And I Lover Her milik The Beatles, 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do).

Karier Remy Sylado

Remy mengawali kariernya sebagai seorang penulis ketika dirinya berusia 18 tahun. Tahun 1963, ia menjadi seorang wartawan dari surat kabar Sinar Harapan. Ia juga banyak menulis kritik, puisi, cerpen, dan novel.

Pada tahun 1965, Remy telah menjadi redaktur Harian Tempo Semarang sampai tahun 1966. Ia lanjutkan kariernya menjadi redaktur Majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970.

Selain berkarier sebagai jurnalis, Remy juga aktif mengajar di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971 dalam mata kuliah Estetika dan Dramaturgi.

Selain berkesenian, Remy juga banyak diundang untuk mengisi ceramah teologi. Secara khusus, ia mendalami teologi kontekstual dan teologi apologetik.

Remy dan Puisi Mbeling

puisi mbeling
carousell.com

Dengan mementaskan drama Genesis II, kemudian Exsodus II, dan Apocalypsis II melalui Dapur Teater 23761 garapannya, Remy mengenalkan istilah “mbeling” yang menjadi simbol perlawanan terhadap apa yang sudah ada.

Gerakan mbeling sebagai perlawanan budaya lewat teater juga diakui Remy sebagai reaksi terhadap W.S. Rendra dengan teaternya yang berpandangan bahwa perlawanan terhadap budaya mapan harus dilakukan dengan sikap urakan.

Kata “urakan” menurut pandangan Remy yang dikemas dalam pentas teaternya, lebih berkonotasi negatif: tidak sopan, tak tahu aturan, dan kurang ajar. Maka Remy mengenalkan istilah “mbeling” yang menurutnya lebih berkonotasi positif.

Walaupun sebenarnya tetap berkesan nakal, kata “mbeling” berasosiasi dengan pengertian pintar, mengerti sopan-santun, dan bertanggung jawab.

Gara-gara pementasan Genesis II itu, Remy diintrogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Namun hal itu justru mendorongnya untuk tetap menggunakan istilah “mbeling” dan menjelaskan konsep di belakangnya sebagai budaya tandingan.

Dasar Pemikiran Gerakan Puisi Mbeling

Pada tahun 1971, Remy bergabung dengan majalah Aktuil, sebuah majalah hiburan dan musik yang berkantor di Bandung. Di sana, Remy menciptakan sebuah ruang khusus menampung sajak-sajak yang diberi nama “Puisi Mbeling”.

Puisi yang awalnya dipandang sebagai sesuatu yang sakral, berubah menjadi barang yang biasa saja. Melalui rubrik cerpen dan puisi mbeling, Remy mengajak kawula muda untuk bersastra.

Kesakralan puisi dan keangkeran majalah sastra menjadi alasan utama menjauhnya kaum muda dari budaya literasi yang sebenarnya berakar kuat di masyarakat.

Gerakan puisi mbeling yang dipelopori Remy merupakan kritik terhadap dunia sastra, dimana para penyair menulis puisi hanya untuk dibaca oleh dirinya sendiri (karena hanya dipahami oleh dirinya sendiri).

Sebagai gerakan perlawanan terhadap gaya bahasa puisi yang berbunga-bunga namun susah dipahami, puisi mbeling menawarkan konsep sebaliknya: puisi ditulis dengan bahasa yang sederhana dengan maksud yang terang dan mudah dipahami.

Dengan konsep seperti itu, puisi tidak hanya mudah dipahami sebagai tanggung jawab penyair terhadap realitas, namun ia juga memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi penyair.

Tidak selamanya usaha perlawanan terhadap ketabuan itu berjalan mulus. Salah satu puisi Remy uang dimuat majalah Aktuil pernah membuat Departemen Penerangan mengancam akan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah Aktuil.

Hanya setelah pihak Aktuil memberi upeti seperti kelaziman yang berlaku pada waktu itu, ancaman tersebut dibatalkan. Puisi Remy yang membuat perkara tersebut berjudul Pesan Seorang Ibu Kepada Putranya terdiri dari tiga kata dalam tiga baris:

jangan

bilang

kontol

Puisi Mbeling Berhasil Berkembang

Puisi mbeling memang terkesan main-main. Namun dengan cara seperti itu, Remy mengajak kawula muda untuk menulis, termasuk bersastra. Dunia sastra dikesankan dengan keseharian, tempat bergurau, dan mengungkapkan suatu gagasan tanpa harus berpikir terlalu lama.

Selain Remy Sylado sebagai penjaga gawang rubrik puisi mbeling majalah Aktuil, tercatat juga nama-nama − yang belakangan juga dikenal sebagai sastrawan − yang ikut berpartisipasi pada gerakan puisi mbeling: Abdul Hadi WM, Yudistira M. Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi Sri) dan nama-nama lainnya.

Pengaruh puisi mbeling tak berhenti pada majalah Aktuil. Ketika Remy berpindah ke majalah Top, ia meneruskan gerakan puisi mbeling dengan rubrik baru dengan tajuk Puisi Lugu.

Sebagaimana yang dicatat oleh penyair Heru Emka, pengaruh mbeling menyebar ke berbagai media massa: majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain.

Beberapa surat kabar yang terbit di Jakarta maupun di daerah-daerah juga pun ikut tertular virus mbeling. Begitu juga dengan majalah-majalah remaja. Heru Emka katakan, bahwa fenomena puisi mbeling telah mewarnai sejarah sastra Indonesia di tahun 1970-an.

Karya-Karya Remy Sylado

cau bau kan
wikipedia

Dengkan gerakan puisi mbeling yang digencarkan oleh Remy pada dekade 70-an, ia telah membuat gebrakan baru pada dunia kesusastraan Indonesia. Seorang sastrawan senior nasional, Sapardi Djoko Damono pun ikut ambil bagian memuji konsep puisi Remy sebagai suatu “usaha pembebasan”.

Di kemudian hari, puisi-puisi mbeling karya Remy dibukukan ke dalam buku puisi berjudul Puisi Mbeling yang memuat 143 puisi ekslusif Remy dari tahun 70-an.

Gebrakan Remy tak berhenti pada puisi mbeling saja. Kumpulan puisinya yang berjudul Kerygma & Martyria juga berhasil mencuri perhatian publik. Berkat buku puisinya itu, Remy meraih penghargaan dari MURI sebagai penulis buku puisi tertebal, 1056 halaman dan berisi 1000 puisi.

Dikabarkan ketika Remy membuat suatu karya, maka ia butuh melakukan riset yang tak tanggung-tanggung dan prosesnya pun juga memakan waktu yang cukup lama. Buku bacaannya bisa menggunung dari berbagai macam bahasa.

Kalau ia menulis tokohnya pergi ke Filipina naik kapal dari Indonesia, Remy pun akan melakukan yang sama. Jika tokohnya pergi ke Perancis, Cina, Klaten, Magelang, atau Tarutung, ia pun akan mendatangi tempat tersebut.

Riset Remy selalu mendetail dalam segi arsitektur dan sejarah. Buku-bukunya pun jadi kaya dengan kosakata, muatan sejarah, dan penjelasan yang mendetail.

Dalam karya novelnya, Remy juga banyak menggunakan kosakata bahasa Indonesia lama yang sudah jarang digunakan, sehingga membuat karyanya dinilai unik dan istimewa.

Seperti dalam salah satu novelnya, Kerudung Merah Kirmizi, banyak ditemui kata-kata asing, seperti prayojana, tenahak, bernudub, gancang-gancang, slilit, dan sebagainya. Kekayaan kosakata Remy juga tidak didapatkan dengan cara instan, ia harus banyak membaca sejarah, buku, dan kamus.

Kerudung Merah Kirmizi juga mengantarkannya meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, sebuah penghargaan prestisius di bidang sastra.

Remy juga kerap mengangkat tema dan latar budaya yang jarang disentuh. Mulai dari novel yang mengangkat budaya Tionghoa seperti Ca Bau Kan, Siau Ling, dan Sam Pho Kong, kemudian Parijs van Java yang berlatar kehidupan di masa kolonial Belanda, hingga Kembang Jepun yang mengisahkan tentang rumah pelacuran di Surabaya yang dibangun oleh orang Jepang.

Musik

Dalam bidang musik, Remy juga terkenal lewat lagu-lagunya yang beraliran folk, rock, country, dan dixie yang memang berbeda dari kebanyakan karya musik Indonesia yang beraliran pop. Ada 13 album kaset yang telah ia ciptakan. Untuk drama musikalnya, ia juga menciptakan musik sendiri.

Karya Tulis

  • Orexas.
  • Gali Lobang Gila Lobang.
  • Siau Ling
  • Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa), 1999.[2]
  • Kerudung Merah Kirmizi, 2002.
  • Kembang Jepun, 2003.
  • Parijs van Java, 2003.
  • Menunggu Matahari Melbourne, 2004.
  • Sam Po Kong, 2004.
  • Puisi Mbeling, 2005.
  • Rumahku di Atas Bukit
  • 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing
  • Drama Musikalisasi Tarragon “Born To Win”
  • Novel Pangeran Diponegoro
  • 9 Oktober 1740, Oktober 2005.
  • 123 Ayat tentang Seni
  • Drama Sejarah 1832 [3]
  • Kamus Isme-Isme

Film

  • 1986 Tinggal Sesaat Lagi
  • 1987 Akibat Kanker Payudara
  • 1989 Dua dari Tiga Laki-laki
  • 1990 Taksi
  • 1990 Blok M
  • 1991 Pesta
  • 1992 Tutur Tinular IV (Mendung Bergulung di Atas Majapahit)
  • 2009 Capres
  • 2015 Bulan di Atas Kuburan
  • 2016 Senjakala di Manado

Sinetron

  • Mahkota Majapahit (1994)

***


Baca juga: Biografi WS Rendra – Sastrawan Pendiri Bengkel Teater Rendra


Remy Sylado memang legenda. Dengan gerakan mbelingnya, ia menjadi seorang tokoh yang cukup berpengaruh dalam dunia sastra di Indonesia. Dengan begitu banyak bakatnya, ia katakan:

“Semua bakat itu anugerah Ilahi, bukan kutukan dewata”

Inilah biografi Remy Sylado. Silakan mampir di sini untuk melihat-lihat puisi mbeling yang dulu dipelopori Remy. Semoga menginspirasi!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *