Memaparkan secara detail biografi Vincent van Gogh, seniman yang menderita gangguan emosional pencipta lukisan masa depan..
Baca juga: Sejarah Seni Lukis dan Perkembangannya di Indonesia
Daftar Isi
Profil Vincent Van Gogh
Nama
Vincent Willem van GoghTempat Lahir
Zundert, BelandaTanggal Lahir
30 Maret 1853Wafat
Auvers-sur-Oise, Prancis
29 Juli 1890 (umur 37)Tempat peristirahatan
Cimetière d’Auvers-sur-Oise, PrancisKebangsaan
BelandaProfesi
Seniman PelukisKarya-Karya Terkenal
- Kenestapaan (1882)
- Pemakan Kentang (1885)
- Bunga Matahari (1887)
- Kamar Tidur di Arles (1888)
- Malam Berbintang (1889)
- Potret Dr. Gachet (1890)
- Ladang Gandum dengan Gagak-gagak (1890)
Lebih Dekat dengan van Gogh

Vincent van Gogh dilahirkan di Groot-Zundert, Provinsi Brabant, Belanda, pada 30 Maret 1853. Ia merupakan anak kedua dari enam bersudara dari keluarga relijius di Belanda Selatan. Ayahnya, Theodorus van Gogh, seorang pendeta. Ibunya, Anna Cornelia Carbentus, Seorang poutri dari seorang penjual buku.
Pada masa kecilnya, van Gogh memiliki mood atau suasana hati yang tidak stabil. Ia anak yang serius, pendiam, dan penuh dengan pikiran. Ia tak juga memperlihatkan bakat seni-nya semasa kanak-kanak.
Van Gogh sempat menjalani homeschooling di bawah bimbingan ibunya dan pengasuh. Pada 1860, ia masuk di sekolah lokal. Empat tahun kemudian, ia ditempatkan di sekolah asrama. Di sana, ia merasa ditinggalkan sehingga berniat ingin pulang. Namun, alih-alih dikabulkan, pada 1866 ia malah dimasukkan ke sekolah menengah Tilburg.
Ketertarikannya pada dunia seni telah muncul semenjak dirinya masih kecil. Ketika ibunya menyuruhnya menggambar, hasil gambarnya sangat ekspresif. Van Gogh kemudian diasah lebih mendalam di Tilburg, di bawah bimbingan Cinstan Cornelis Huijsman, seorang seniman di Paris.
Huijsman memiliki filosofi menolak segala bentuk impresi akan benda, uatamanya pada alam atau objek biasa. Namun rupanya, filosofi tersebut tak disukai oleh van Gogh sehingga mata pelajaran itu sama sekali tak masuk di kepalanya.
Awal Karier Vincent van Gogh

Ketika usianya menginjak 15 tahun, keluarga van Gogh mulai mengalami kesulitan finansial. Ia terpaksa meninggalkan sekolahnya dan memutuskan untuk bekerja. Ia kemudian dipekerjakan oleh pamannya di dealer seni internasional Goupil & Cie di Den Haag.
Pada tahun 1872, van Gogh mulai berkirim surat dengan Theo van Gogh, adiknya, yang kemudian terus berlanjut hingga akhir hayatnya. Theo sendiri akhirnya mengikuti jejak kakaknya sebagai penjual barang-barang seni.
Pada masa itu, van Gogh telah menguasai bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris dengan baik di samping bahasa Belanda, bahasa aslinya. Selepas mengikuti pelatihan, pada 1873, ia dipindahkan ke diler cabang Goupil di Southampton Street, Inggris dan tinggal di 87 Hackford Road, Stockwell.
Di sana, van Gogh cukup sukses dalam kariernya sebagai art dealer karena ia termasuk pegawai yang baik. Ia merasa bahagia karena di usia 20 tahun, ia telah menerima penghasilan yang lebih besar dari ayahnya. Sampai-sampai istri Theo pun berkomentar bahwa ini adalah tahun terbaik dalam kehidupan Vincent.
Selama tinggal di Inggris, van Gogh begitu mencintai kebudayaan Inggris. Di waktu senggangnya, ia kerap mengunjungi galeri seni dan menggemari karya Charles Dickens dan George Eliot.
Van Gogh juga jatuh cinta pada Eugene Loyer, putri ibu kos-nya. Namun, Loyer menolak lamarannya. Perempuan tersebut diam-diam malah bertunangan dengan seorang mantan pemilik penginapan tersebut.
Penolakan itu begitu membuatnya hancur. Van Gogh menjadi terisolasi dan semakin kuat imannya. Ia membuang buku-bukunya kecuali Alkitab, kemudian ia tinggalkan Goupil’s dan mendedikasikan dirinya kepada Tuhan.
Pada tahun 1875, ayah dan paman van Gogh dengan sengaja mengirim dirinya ke Paris yang justru membuatnya makin muak dengan berbagai hal, salah satunya bagaimana perusahaan tempat ia bekerja menjadikan seni sebagai komoditas. Sehingga setahun kemudian, ia pun dipecat.
Baca juga: Biografi Leonardo da Vinci – Seniman Jenius Zaman Renaisans
Mengabdi Kepada Tuhan

Pada tahun 1876, van Gogh kembali ke Inggris dan mengabdikan dirinya sebagai guru pengganti di sekolah asrama kecil di Ramsgate tanpa digaji. Ketika pemilik sekolah pindah ke Isleworth, Middesex, ia pun ikut dengannya. Namun, ia merasa tak cocok dengan pekerjaan tersebut dan memilih untuk menjadi asisten pendeta Methodis.
Pada hari Natal tahun 1876, van Gogh kembali ke Belanda. Ia lalu menetap selama enam bulan dan bekerja di sebuah toko buku di Dordrecht. Lagi-lagi ia merasa tak bahagia dengan pekerjaannya dan menjalani waktunya dengan mencorat-coret sesuatu dan menerjemahkan ayat-ayat Alkitab ke dalam Bahasa Inggris, Perancis, atau Jerman.
Pada tahun 1877, van Gogh dikirim oleh keluarganya untuk tinggal bersama pamannya, Johannes Stricker, yang merupakan seorang teolog yang dihormati di Amsterdam. Ia lalu mempersiapkan dirinya untuk mengikuti ujian masuk Teologi di Universitas Amsterdam.
Setelah selama setahun ia belajar, ia menemui masalah ketika mengikuti ujian Bahasa Latin. Menurutnya, Bahasa Latin merupakan “bahasa mati” bagi kaum miskin, sehingga pada akhirnya ia gagal dalam ujian.
Pada Januari 1879, van Gogh menerima tugas menjadi seorang misionaris di Petit-Wasmes yang terletak di Kawasan tambang batu bara Borinage di Belgia. Di sana, ia mengajar dan melayani orang sakit, serta melukis para penambang dan keluarganya, sehingga ia sering dijuluki “Yesus dari Tambang Batu Bara”.
Sebagai dukungannya kepada jemaat miskin, van Gogh memberikan tempat tinggalnya yang nyaman di sebuah toko roti kepada seorang tuna wisma, ia lalu pindah ke sebuah gubuk kecil dan tidur di atas tumpukan jerami. Cara hidupnya yang kumuh membuat dirinya tak disukai oleh gereja karena dianggap telah merusak martabat kependetaan, dan ia pun dipecat.
Membuka Jalan sebagai Seniman

Pada Agustus 1880, van Gogh bertolak ke Cuesmes di Borinage setelah tiga bulan pulang ke Etten bersama keluarganya. Di sana, ia tinggal bersama seorang penambang hingga bulan Oktober. Ia mulai tertarik dengan orang-orang dan pemandangannya yang kemudian ia abadikan dalam bentuk gambar.
Atas saran dari adiknya, Theo, van Gogh bertolak ke Brussel setahun kemudian untuk mendalami seni dengan seorang seniman Belanda, Willem Roelofs. Roelofs berhasil meyakinkan van Gogh untuk masuk di Academie Royale des Beaux-Arts, meskipun sebenarnya ia tak menyukai sekolah resmi.
Ia mendaftar di akademi tersebut pada November 1880. Di sana, ia mempelajari anatomi dan aturan-aturan standar permodelan dan perspektif.
Pada April 1881, van Gogh ekmbali ke Etten dan tinggal bersama orang tuanya. Ia terus menggambar dan kerap menjadikan tetangga-tetangganya sebagai objek lukisan.
Tak lama, van Gogh bertolah ke Den Haag untuk mencoba menjual lukisan-lukisannya. Ia lalu menemui sepupu jauhnya, Anton Mauve, untuk belajar melukis. Mauve juga seorang seniman sukses di Belanda, van Ghog juga ingin seperti dirinya.
Mauve mengundangnya untuk kembali setelah tiga bulan. Ia menyarankan agar van Gogh tetap berkarya dengan arang dan pastel. Van Gogh lalu kembali ke Etten dan mengikuti nasihatnya.
Mauve memperkenalkan van Gogh dengan karya-karya seniman Perancis, Jean-François Millet, yang dikenal dengan aliran realismenya yang mengambil subjek kehidupan para buruh dan petani. Karya-karya Millet pun turut memberikan pengaruh pada lukisan-lukisan van Gogh.
Sebulan setelah kepulangan perayaan Natal, Vincent dan Mauve bertengkar. Kemungkinan karena permasalahan soal kelayakan plaster untuk menggambar. Selain itu, Vincent hanya mampu mempekerjakan orang-orang dari jalanan sebagai model, praktik ini rampaknya juga tak disukai Mauve. Pertengkaran pun berujung putusnya hubungan mereka.
Menetap di Nuenen

Pada Desember 1883, Vincent bertolak ke Nuenen untuk tinggal bersama orang tuanya, setelah beberapa bulan tinggal di Drenthe, Belanda Utara dan tak kuat dengan kesendirian.
Di Nuenen, Vincent memfokuskan dirinya untuk melukis dan menggambar. Ia banyak melukis di luar ruangan dengan. Dengan gaya melukis-nya yang sangat cepat, ia banyak merekam aktivitas kaum buruh dan petani beserta gubuk-gubuk mereka. Lukisan-lukisan Vincent yang menceritakan kehidupan para buruh tani ini dikenal dengan “Studi Karakter Petani”.
Pada bulan November 1885, Vincent bertolak ke Antwerpen dan menetap di sana. Di sana, ia banyak mempelajari teori warna dan mengunjungi museum-museum. Ia juga mulai tertarik dengan salah satu karya seni yang sedang berkembang di Jepang, ukiyo-e, yang kemudian ia masukkan unsur-unsurnya ke dalam beberapa lukisannya.
Di Antwerpen, Vincent sempat menempuh pendidikan Akademi Seni Rupa Kerajaan Antwerpen, meski sebenarnya ia tak menyukai pendidikan formal. Namun, ia jalani kehidupan di sekolah dengan banyak berseteru dan membantah arahan dari guru-guru, sehingga ia harus mengulang studi selama setahun.
Bersama Theo di Paris

Pada Maret 1886, Vincent bertolak ke Paris dan menetap bersama Theo di rue Laval di Montmartre. Di samping ia berguru di studio Fernand Cormon, ia banyak melukis potret teman-temannya, alam benda, serta pemandangan Le Moulin de la Galette, Montmartre, Asnières, dan daerah sepanjang Sungai Seine.
Di studio Fernand Cormon, Vincent banyak bertemu dengan seniman-seniman impresionis semacam Émile Bernard, Louis Anquetin, Henri de Toulouse-Lautrec, sampai seniman Australia John Peter Russell.
Puncak Artistik Vincent van Gogh

Pada 1888, Vincent pindah ke Arles. Dengan 15 franc, ia menyewa empat kamar sekaligus di bagian timur “The Yellow House” (Rumah Kuning) di 2 place Lamartine. Kamar-kamar tersebut tak memiliki perabotan sebab sudah tak digunakan selama bertahun-tahun.
Selain sebagai tempat tinggal, Vincent mempergunakan ruangannya sebagai studio dan galeri untuk memajang lukisan-lukisannya. Untuk dekorasi Rumah Kuning, ia membuat lukisan Kursi Van Gogh (1888), Kamar Tidur di Arles (1888), Malam Berbintang di Atas Rhone (1888), dan Alam Benda: Vas dengan Dua Belas Bunga Matahari (1888).
Pada 23 Oktober 1888, Paul Gauguin tiba di Arles setelah berulang kali dimohon oleh Vincent. Mereka mulai melukis bersama dan saling bertukar pikiran. Atas saran Gauguin, Vincent melukis berdasarkan ingatannya dan menghasilkan lukisan “Kenangan Kebun di Etten”.
Untuk pertama kalinya, mereka melukis bersama di luar ruangan di Alyscamps dan menghasilkan sepasang karya yang dijuluki “Les Alyscamps”. Mereka juga sempat mengunjungi kota Montpellier dan menyaksikan karya-karya Courbet dan Delacroix di Musée Fabre.
Hubungan mereka mulai retak setelah mereka sering bertengkar karena berbagai masalah. Pertengkaran mereka berakhir dengan Vincent memotong kuping kiri-nya sendiri dengan pisau cukur setelah Gauguin meninggalkannya karena merasa tidak ada kecocokan di antara mereka.
Entah apa penyebab Vincent memotong telinganya. Diduga, setelah pertengkaran dengan Gauguin, Vincent kembali ke kamarnya. Di situ ia mengalami halusinasi pendengaran hingga akhirnya ia memotong telinga kiri dengan sebuah pisau cukur.
Lukanya yang mengalami pendarahan ia balut dengan kain, lalu telinganya yang telah putus ia bungkus dengan kertas dan ia kirimkan kepada seorang perempuan di rumah bordil yang sering dikunjungi oleh Vincent dan Gauguin.
Keesokan paginya, Vincent ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Oleh dokter Felix Rey, ia menjalani perawatan. Namun telinganya yang telah dikirim padanya tak bisa disambung lagi karena sudah terlambat.
Vincent sama sekali tak mengingat kejadian tersebut, sehingga kemungkinan ia mengalami kekalutan mental akut. Pihak rumah sakit menjatihkan diagnosis “mania akut dengan delirium umum”. Meski didiagnosis dengan nada pesimis, VIncent berhasil pulih dan kembali ke Rumah Kuning pada 7 Januari 1889.
Setelah kepulangannya, Vincent masih mengalami halusinasi dan waham. Warga Arles menolaknya untuk tinggal lebih lama karena dianggap sebagai orang gila. Akhirnya, secara sukarela, Vincent bertolak ke Saint-Rémy-de-Provence, kurang lebih 30 km dari Arles, untuk menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
Saint-Rémy-de-Provence

Pada tanggal 8 Mei 1889, Vincent masuk rumah sakit jiwa Saint-Paul-de-Mausole. Di sana, ia masih diberi kebebasan untuk tetap melukis. Ia memiliki dua sel dengan jendela berjeruji, ia jadikan satu selnya untuk studio.
Meski hanya memperoleh sedikit bahan lukisan, ia tetap melukis dengan menggambarkan kehidupan di rumah sakit jiwa. Gedung rumah sakit dan kebun-kebunnya menjadi objek utamanya. Beberapa karya Vincent pada masa ini memiliki ciri khas berupa pola spiral atau melingkar seperti pada lukisan “Starry Night” (1889).
Ia juga diizinkan untuk berkeliling dengan ditemani seseorang. Di saat-saat itu, ia menciptakan “Pohon Zaitun dengan Pegunungan Alpilles di Latar Belakang” (1889), “Pohon Sanobar” (1889), “Ladang Jagung dengan Pohon Sanobar” (1889), dan “Jalan Desa di Provence pada Malam Hari” (1889).
Kematian Van Gogh

Pada Mei 1890, Vincent bertolak dari Saint-Remy pindah ke utara Auvers-sur-Oise untuk dirawat Dr. Paul Gachet. Ia memotivasi Vincent untuk terus melukis sebagai bagian dari terapi lanjutan bagi kesembuhan mentalnya. Tentu dengan senang hati Vincent melakukannya.
Vincent melukis berbagai pemandangan di sekitar tempat tinggalnya. Ia menuntaskan satu lukisan setiap hari selama bulan-bulan terakhirnya. Namun, setelah Theo mengungkapkan rencananya untuk membangun bisnis sendiri dan menegaskan bahwa bantuan finansialnya akan menipis, depresi Vincent kambuh lagi.
Pada tanggal 27 Juli 1890, ketika umurnya 37 tahun, Vincent menembaki dadanya sendiri dengan menggunakan sepucuk revolver. Tak ada saksi mata atas kejadian tersebut. Kejadian penembakan ini kemungkinan terjadi di ladang gandum tempat ia melukis atau di sebuah bangsal ternak setempat.
Vincent masih sanggup berjalan pulang ke Auberge Ravoux, tempat ia diobati oleh dua orang dokter. Namun, tanpa penanganan seorang ahli bedah, peluru yang bersarang di tubuhnya mustahil dikeluarkan. Kedua dokter tersebut memberikan perawatan semampu mereka dengan membiarkan VIncent beristirahat sendiri di kamarnya.
Pada pagi harinya, Theo buru-buru menjenguk VIncent, tetapi ia malah mendapati kakaknya itu sedang riang gembira. Beberapa jam kemudian, tubuh Vincent melemah akibat luka tembakan di tubuhnya mengalami infeksi. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada dini hari tanggal 29 Juli.
“Kesedihan ini akan bertahan selamanya,” kata-kata terakhir Vincent sebagaimana yang disaksikan oleh Theo.
Jenazah Vincent dikebumikan pada 30 Juli di tanah pemakaman Auvers-sur-Oise. Upacara pemakamannya dihadiri oleh dua pulu orang kerabat, sahabat, dan warga setempat, termasuk Theo, Andries Bonger, Charles Laval, Lucien Pissaro, Emile Bernard, dan Paul Gachet.
Kabar duka berlanjut dengan kematian Theo tak lama setelah pemakaman VIncent, pada 25 Januari 1891. Ia didiagnosis menderita kelumpuhan progresif dini. Catatan medisnya menegaskan bahwa dirinya mengalami gejala dementia paralytica, penyakit otak.
Di kemudian hari, arsip surat-surat antara Vincent dan Theo menjadi dokumentasi penting bagi kisah mereka. Semasa hidupnya, Vincent van Gogh tak pernah mendapatkan apresiasi yang semestinya, kecuali hanya satu lukisan yang berhasil terjual.
Baru setelah ia meninggal dunia, karya-karyanya mulai bergema di mana-mana. Bahkan hingga saat ini, karya seninya pernah berkali-kali menjadi salah satu karya seni paling mahal di dunia.
Baca juga: Wajib Tahu! 16 Aliran Seni Lukis Paling Familiar
Pada umur 15 tahun ia rela tidak bersekolah hanya untuk bekerja karena masalah finansial
Karya yang menarik adalah”studi karakter petani”
Saya penggemar lukisan Vincent van Gogh, dia pernah bilang: “Puisi mengelilingi kita di mana saja, tapi menaruhnya di atas kertas, celakanya, tidak semudah seperti melihatnya. Saya memimpikan lukisan saya, dan saya melukis impian saya. Menjadi spiritual adalah menjadi hormat akan misteri agung kehidupan dan melihat jejak jejari sang Mahakuasa dalam hal-hal yang sangat biasa”
Saya mencoba menulis blog tentang dia , semoga anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2017/11/wawancara-dengan-vincent.html