Mengulas tari Beksan Wireng, sebuah kesenian dari zaman Jenggala-Kediri hingga ke Mangkunagaran.
Kesenian Jawa tradisional dalam berbagai bentuknya, seperti: seni karawitan, pedalangan, batik, dan seni tari, kebanyakan bersumber dari istana yang merupakan pusat kebudayaan Jawa klasik.
Sumber utama sebagai pusat kebudayaan Jawa adalah istana Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Selain keduanya, masih ada dua pusat kebudayaan lagi, yaitu di Pura Paku Alaman dan Mangkunagaran.
Di Kasunanan Surakarta, banyak warisan seni budaya tarian yang berbentuk tari putri. Berbeda dengan jenis tarian yang ada di Mangkunagaran yang kebanyakan berbentuk tari wireng.
Lalu, apa yang dimaksud dengan tari Wireng atau Beksan Wireng? bagaimana sejarahnya? Bagaimana bentuk sajiannya? Berikut ulasan lengkap mengenai tari Beksan Wireng.
Daftar Isi
Pengertian Tari Beksan Wireng
Secara bahasa, ada yang berpendapat bahwa kata wireng merupakan gabungan dari kata wira dan aeng. Wira berarti perwira, sedangkan aeng berarti prajurit yang unggul.
Namun apabila merujuk pada P.M. Rono Suripto, kata wireng mengandung kata dasar wira (prajurit) yang mendapat akhiran -ing yang berfungsi sebagai penyangkat.
Pengertian tersebut sejalan dengan yang tercantum pada Kamus Jawa Kuno yang ditulis oleh P.J. Zoetmulder. Di dalamnya diterangkan bahwa kata wira berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti: orang pemberani, pahlawan, prajurit.
Sementara itu, kata beksan berasal dari kata baksa, babaksan, atau ababaksan, yang artinya “menari”. Dalam id.wiktionary.org, beksan memiliki arti “tarian tradisional Jawa”.
Maka dapat disimpulkan bahwa Beksan Wireng memiliki pengertian sebuah tarian yang mengangkat tema kepahlawanan, peperangan, dan keprajuritan.
Dalam sejarahnya, tarian ini memang biasa difungsikan untuk gladen atau berlatih para putra raja ataupun prajurit.
Baca juga: Tari Gambyong, Dari Jalanan Menjadi Tarian Keraton
Sejarah Tari Beksan Wireng

Apabila dirunut sejarah kesenian tradisional (khususnya seni tari) di masa lalu lewat karya sastra Jawa, Beksan Wireng rupanya sudah ada sejak zaman Jenggala-Kediri.
Di masa itu, kesenian ini difungsikan sebagai gladen atau berlatih perang para putra raja ataupun prajurit, yang biasanya juga menggunakan properti alat perang seperti: pedang, tameng, keris, tombak, dan lain sebagainya.
Adapun Beksan Wireng Mangkunagaran mulai tumbuh dan berkembang sejak masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunagara I. Bahkan, tarian ini sempat mengalami masa keemasan pada pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunagara V.
Eksistensi Beksan Wireng di Mangkunagaran juga memiliki begitu banyak jenis atau judul.
Hal ini didasarkan pada pengaruh kepahlawanan dan semangat perang para pendiri Praja Mangkunagaran dengan ajaran Tri Darma serta semboyannya, “Tiji-Tibeh”, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh.
Sajian Seni Tari Beksan Wireng

Dengan mengangkat tema keparjuritan dan kepahlawanan, sajian Beksan Wireng didominasi dengan adegan peperangan dan gerakan-gerakan atraktif seperti seni beladiri pencak silat.
Adapun sumber cerita yang dibawakan dalam sajian Beksan Wireng di antaranya: Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Klitik, Wayang Gedog, Wayang Rama, Wayang Ayudya, Wayang Menak.
Jika ditinjau dari struktur sajian tarian, setiap varian Beksan Wireng selalu ditampilkan dengan pola sajian yang sama. Mulai dari gawang kawit atau maju beksan, lalu gawang baku atau beksan, dan diakhiri mundur beksan dan kembali lagi ke gawang kawit.
Baca juga: Tari Tayub, Menelusuri Eksotisme Tarian Pergaulan dari Blora
Perkembangan Beksan Wireng Mangkunagaran

Perlu diketahui sebelumnya, Mangkunagaran adalah sebuah kadipaten yang berkedudukan di bawah Kasunanan Surakarta.
Keberadaan Beksan Wireng di Mangkunagaran sangat berkaitan dengan sejarah berdirinya kadipaten.
Jiwa serta semangat kepahlawanan Raden Mas Said sebagai pendiri trah Mangkunagaran dengan semboyannya, “Tiji-Tibeh”, serta ajaran Tri Darma begitu mewarnai pola sikap dan perilaku masyarakat Mangkunagaran.
Begitu pula dengan hasil karya budaya di bidang seni, khususnya seni tari Wireng yang kemungkinan mendapat pengaruh dari ajaran Tiji-Tibeh dan Tri Darma.
Perkembangan kesenian tari Wireng telah dimulai sejak masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunagara I dengan lahirnya Tari Wireng Janaka-Cakil.
Di masa K.G.P.A.A Mangkunegara II, tidak ada perkembangan signifikan pada bidang kesenian lantaran pemerintahan lebih terfokus pada perang pelebaran wilayah kekuasaan, pembangunan pura, dalem ageng, serta pendapa.
Perkembangan Beksan Wireng mengalami air segar kembali pada masa K.G.P.A.A Mangkunagara III dengan munculnya Wireng Harjuna Mangsah dan Wireng Putri Lenggotbawa.
Kesenian Beksan Wireng mulai banyak tercipta berbagai varian di masa K.G.P.A.A. Mangkunagara IV. Tercatat ada 10 tarian, di antaranya: Panji Anom/Dhadhap Kaneman, Wireng Sinibodo, Wiring Klono Topeng, Wireng Lawung, dan lain sebagainya.
Masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunagara V dianggap sebagai zaman keemasan tari Wireng. Satu masa dimana semakin banyak varian Wireng bermunculan, di antaranya: Beksan Tayungan Wireng, Beksan Wireng Harjunasasra-Sumantri, Beksan Wireng Kelaputra-Begawan Ciptaning, dan lain sebagainya.
Meskipun bidang kesenian dinilai sangat subur di masa Sri Mangkunagara V, hal itu juga berdampak pada pengeluaran biaya yang amat besar. Padahal, waktu itu tengah terjadi bencana mengganasnya hama tanaman yang mengakibatkan rusaknya tanaman kopi.
Otomatis, devisa negara sangat menyusut dan terjerumus ke dalam masalah ekonomi.
Permasalahan tersebut sampai menyebabkan pemerintahan selanjutnya, yaitu Mangkunagara VI, disibukkan oleh penataan masalah sosial dan ekonomi.
Di bidang kesenian, karena untuk menghemat pengeluaran, masa pemerintahan Mangkunagara VI berhasil menciptakan wayang padat, yang semula dipertunjukkan semalam suntuk menjadi kurang lebih hanya 4 jam.
Lalu, pada masa pemerintahan K.G.P.A.A Mangkunagara VII, kesenian tari di Pura Mangkunagaran mengalami percampuran gaya antara Solo dan Yogyakarta.
Perkembangan tersebut memunculkan varian tari Wireng baru, seperti: Beksan Wireng Mandrasmara, Beksan Wireng Mandra Kusuma, dan Beksan Wireng Mandra Retna.
Kemudian di masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunagara VIII, kesenian tari mengalami pemadatan gerak tari dengan menghilangkan gerakan-gerakan yang diulang-ulang.
Adapun karya seni tari yang diciptakan di masa itu antara lain: Beksan Wireng Priyambada-Mustakaweni, Beksan Wireng Minakjingga-Darmawulan, Beksan Wireng Menak Koncar, dan Beksan Wireng Mandrasari.
Baca juga: Tari Lengger (Topeng Lengger), Kesenian Topeng khas Wonosobo
Beksan Wireng dalam Sumber Kasusastraan Jawa

Informasi sejarah tarian Beksan Wireng sebenarnya dapat ditemukan dalam berbagai karya sastra Jawa semacam: Serat Centhini, Serat Sastramiruda, Serat Weddataya, dan Serat Kridhwayangga.
Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa sejak zaman Jenggala-Kediri (abad 11) sudah ada setidaknya 6 jenis tari Wireng, lengkap dengan jumlah penari, alat perang, gendhing iringan, hingga siapa penciptanya.
Bukan hanya Serat Centhini saja, penyebutan Beksan Wireng juga tercantum dalam Serat Kridhwayangga.
Disebutkan di dalamnya seorang tokoh bernama Panji Innukertapati yang bergelar Prabu Suryamisesa, terkenal mahir dalam membawakan tari-tarian, merdu suaranya, ahli memainkan gamelan, dan pandai bercerita.
Pada tahun 1145, dimana R. Panji tengah bertahta, merupakan tanda peringatan dimulainya orang-orang mempelajari tari-tarian dan lagu.
Disebutkan juga dalam Serat Sastramiruda bahwa Sri Susuhan Pakubuwono IV di Surakarta pernah memilih orang-orang berperawakan pantas untuk diajari menari dalam bentuk prajurit Prawireng (para perwira)
Tercatat di dalamnya ada 17 jenis tarian yang diperuntukkan sebagai hiburan kenegaraan.
Lalu Serat Weddataya yang ditulis pada 10 November 1923 oleh pakempalan Yogyataya di Surakarta, di dalamnya dirinci struktur tari atau urutan sekaran beserta maknanya.
Meski demikian, penyebutan Beksan Wireng dalam berbagai serat tersebut memiliki pengertian dan pemahaman yang berbeda-beda.
Hal ini mengundang pertanyaan apakah kesenian Wireng yang disebutkan dalam berbagai sumber tadi merujuk pada tarian yang sama atau hanya istilahnya saja yang sama namun merujuk pada tarian yang berbeda.
Referensi:
- https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/harmonia/article/download/820/753