Mengenal 10 Upacara Adat Bali yang Eksotis

Mengenal 10 upacara adat Bali, ritual, serta tradisi yang masih lestari sampai sekarang.

Berbicara soal Bali, selalu ada hal yang menarik untuk dibahas. Entah dari kekayaan alamnya, kesenian, hingga kebudayaannya yang masih lestari hingga kini.

Salah satu bentuk kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Bali ini adalah upacara adat yang masih dibudayakan di sana. Bahkan bagi para wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke Bali, eksotisme kebudayaan Bali juga menjadi salah satu destinasi utama yang diburu.

Lalu, apa sajakah tradisi, ritual, atau upacara-upacara adat Bali yang masih dapat dilihat dan dinikmati hingga masa kini? Berikut telah kita rangkum 10 upacara adat Bali dengan penjelasan makna ringan dan lengkap.

1. Upacara Ngaben

upacara ngaben
Ngaben /detik.com

Membicarakan upacara adat Bali, sudah tentu bahasan pertama adalah Ngaben sebagai ritual yang paling dikenal oleh banyak orang. Upacara ini bahkan menjadi daya tarik tersendiri dari Pulau Dewata bagi wisatawan, baik lokal maupun turis dari mancanegara.

Namun meskipun begitu, Ngaben bukanlah upacara yang selalu dilakasanakan setiap kali ada orang yang meninggal dan dapat dijumpai dengan mudah oleh wisatawan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. Mengingat upacara ini memerlukan biaya yang cukup besar, dan tidak semua keluarga di Bali mampu melaksanakan upacara ini untuk anggota keluarga yang meninggal.

Beralih ke pengertiannya, Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali dan dimaksudkan sebagai pensucian roh orang yang sudah meninggal sebelum menuju ke peristirahatan terakhir.

Secara etimologis, kata Ngaben berasal dari kata “api” yang mendapat awalan nga- dan akhiran –an, sehinga menjadi ngapian. Kata ngapian kemudian disandikan menjadi ngapen dan lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben.

Dalam pelaksanaannya, upacara Ngaben selalu melibatkan api, entah api yang berbentuk konkret maupun api abstrak yang berasal dari Puja Mantra Pandeta sebagai pemimpin upacara.

Dalam versi lain, dikatakan bahwa kata ngaben berasal dari kata beya yang berarti “bekal”. Sehingga Ngaben juga dapat diartikan sebagai upacara pemberian bekal kepada leluhur untuk perjalanannya menuju Sunia Loka.

Secara konsepsional, upacara Ngaben memiliki makna dan tujuan sebagaimana berikut:

  1. Dengan membakar jenazah (atau secara simbolis) yang kemudian menghanyutkan abu-nya ke sungai atau laut, hal ini diyakini untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan sebagai tujuan terakhir (Moksartham Atmanam).
  2. Pembakaran jenazah juga dimaksudkan sebagai upacara untuk mengembalikan semua unsur Panca Maha Butha (5 unsur pembangun badan kasar manusia) menuju asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalanan Sang Atma menuju Sunia Loka.
  3. Bagi pihak keluarga, upacara Ngaben merupakan simbol bahwa pihak keluarga telah ikhlas merelakan kepergian anggota keluarganya yang telah meninggal.

Baca juga: Eksotisme 7 Upacara Adat Papua, Budaya Tanah Mutiara Hitam


2. Upacara Melasti

upacara adat bali
Upacara Melasti /detik.com

Melasti adalah upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Nyepi oleh umat Hindu di Bali. Upacara ini dilaksanakan setiap tahunnya, biasanya pada tiga hari menjelang perayaan Nyepi di Bali.

Upacara Melasti digelar di pinggir pantai dengan maksud mensucikan diri dari segala perbuatan buruk di masa lalu dan membuangnya ke laut. Dalam kepercayaan umat Hindu, sumber air berupa laut atau danau dianggap sebagai air kehidupan (tirta amerta).

Selain sebagai bentuk peribadatan, upacara Melasti juga menjadi momen pembersihan dan pensucian benda-benda sakral milik pura, pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya. Benda-benda tersebut diarak dan diusung berkeliling desa dengan maksud untuk mensucikan desa.

Dalam pelaksanaannya, masyarakat dibentuk menjadi berkelompok berdasarkan wilayah atau desa asal. Masing-masing kelompok kemudian menuju ke sumber-sumber air berupa danau atau laut yang sudah ditetapkan. Umumnya, seluruh warga pada upacara ini mengenakan pakaian putih.

Kemudian para pemangku (tokoh adat) berkeliling seraya memercikkan air suci kepada seluruh warga yang datang beserta benda-benda peribadatan dan menebarkan asap dupa sebagai bentuk pensucian.

Upacara Melasti juga dilengkapi dengan berbagai macam sesajian sebagai simbol Trimurti (tiga dewa dalam Hindu), yaitu: Wisnu, Siwa, dan Brahma beserta Jumpana (singgasana Dewa Brahma).

Dalam penyambutan perayaan Nyepi, pelaksanaan upacara Melasti biasanya dibagi berdasarkan wilayah. Di ibukota porvinsi dilakukan upacara Tawur, tingkat kabupaten dilaksanakan upacara Panca Kelud, tingkat kecamatan ada upacara Panca Sanak, tingkat desa ada upacara Panca Sata, tingkat banjar ada upacara Ekasata, sedangkan di masing-masing rumah tangga dilakukan upacara di natar merajan (sanggah).

Upacara Melasti ini dilaksanakan agar umat Hindu diberikan kekuatan dalam melaksanakan perayaan Nyepi.


Baca juga: Mengulas 10 Upacara Adat Jawa Timur yang Terkenal


3. Upacara Saraswati

upacara saraswati
Upacara Saraswati /netralnews.com

Selain hari raya Nyepi dan Galungan, ternyata umat Hindu juga memiliki berbagai hari raya lain yang mungkin belum dikenal banyak orang. Salah satunya adalah perayaan Saraswati.

Hari raya Saraswati adalah hari dimana turunnya ilmu pengetahuan. Umat Hindu Dharma di Bali biasa merayakannya setiap 210 hari atau 6 bulan sekali, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali pada hari Sabtu (Saniscara), Umanis (Legi), Watugunung.

Pada perayaannya dilakukan pemujaan terhadap Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni. Dewi Saraswati sendiri dimanifestasikan dalam seorang dewi cantik berpakaian putih bersih, bertangan empat dengan membawa sebuah alat musik, pustaka suci, teratai, dan duduk di atas angsa.

Hari Saraswati sering dikaitkan dengan adanya larangan membaca dan menulis selama sehari penuh (24 jam) sebagai bentuk pelaksanaan brata saraswati. Sebelum dilaksanakannya pemujaan Dewi Saraswati atau sebelum lewat tengah hari, tidak diperkenankan membaca atau menulis mantra dan kesusastraan.

Sementara bagi orang yang melaksanakan brata saraswati secara penuh dengan melakukan meditasi, yoga, samadhi, tidak diperkenankan membaca dan menulis selama sehari penuh (24 jam).

Hal ini dimaksudkan agar dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan, senantiasa didasari dengan hati yang jernih dan penuh rasa bakti terhadap Sang Hyang Saraswati, termasuk dengan merawat perpustakaan yang dimiliki.

Ketika hari Sarawati, seluruh buku, lontar, atau pustaka suci lainnya diberi persembahan banten saraswati, kemudian dilanjutkan dengan sembahyang memuja Dewi Saraswati.

Pemujaan dan seluruh rangkaian yang berhubungan dengan brata saraswati dilaksanakan pada pagi hari atau ketika matahari masih di ufuk timur. Karena kalau sampai lewat tengah hari, maka yang dipuja hanyalah huruf-huruf semata, bukan kekuatan Sang Hyang Aji Saraswati.

4. Upacara Omed-Omedan

upacara adat bali
Omed-Omedan /jawapos.com

Omed-Omedan adalah upacara adat Bali yang diadakan setiap tahun oleh pemuda-pemudi dari Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar Selatan. Biasanya diadakan setelah hari raya Nyepi atau pada hari ngembak geni untuk menyambut tahun baru Saka.

Kata omed-omedan berasal dari bahasa Bali yang artinya “tarik-tarikan”. Awal mula upacara ini tidak diketahui secara pasti, namun telah berlangsung lama dan dilestarikan secara turun temurun dari nenek moyang.

Namun konon ceritanya, Omed-Omedan berawal dari warga Kerajaan Puri Oka yang berada di Denpasar Selatan. Pada masa itu, para warga desa menciptakan sebuah permainan tarik-menarik. Namun, lama kelamaan permainan ini semakin menarik sehingga berubah menjadi saling rangkul.

Namun semakin lama suasana menjadi gaduh, Raja Puri Oka yang sedang sakit keras pun marah-marah sebab terganggu dengan suara gaduh tersebut. Akan tetapi begitu Sang Raja keluar dan melihat permainan Omed-Omedan tersebut, ia malah sembuh dari penyakitnya.

Sejak saat itu, Sang Raja memerintahlan agar permainan Omed-Omedan dijadikan sebuah perayaan tahunan, yang digelar pada setiap ngembak geni selepas hari raya Nyepi.

Pada pelaksanaannya, Omed-Omedan melibatkan pemuda-pemudi yang berumur 17 sampai 30 tahun dan belum menikah. Acara Omed-Omedan dimuali dengan persembahyangan bersama untuk memohon keselamatan.

Selepas sembahyang, para peserta dibagi dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Masing-masing kelompok tersebut lalu mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok kemudian mulai saling tarik-menarik satu sama lain.

Peserta upacara ini dari 40 laki-laki dan 60 perempuan. Sisa peserta akan dijadikan sebagai cadangan pada tahap berikutnya. Permainan ini akan usai sampai sore hari, biasanya sampai jam 5 sore waktu setempat.

5. Upacara Mepandes (Potong Gigi)

upacara potong gigi bali
Ritual Potong Gigi Mepandes /medium

Potong gigi—dalam bahasa Bali biasa disebut mepandes, mesangih, atau metatah—adalah upacara keagamaan HinduBali berupa pemotongan atau pengikiran enam gigi taring yang dilakukan kepada seorang anak yang telah beranjak dewasa.

Upacara Mepandes merupakan bagian dari runtutan upacara Manusa Yadnya. Dalam hal spiritual, upacara seperti ini dapat diartikan juga sebagai bentuk pembayaran hutang oleh orang tua kepada anaknya karena telah menghilangkan enam sifat buruk dari diri manusia.

Dalam pelaksanaannya, ritual yang dilakukan adalah mengikis 6 gigi taring bagian atas dengan maksud untuk menghilangkan sifat sad ripu, yaitu 6 jenis perbuatan yang tidak baik dalam diri manusia.

Upacara potong gigi ini biasa dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan upacara adat Bali seperti: Ngaben, pernikahan, atau Ngeresi, serta hanya dilakukan pada hari-hari terntentu saja.

6. Upacara Ngurek

ngurek bali
Ngurek /balikami.com

Ngurek atau Ngunying adalah sebuah tradisi Bali berupa atraksi menusuk tubuh diri sendiri menggunakan keris. Dalam beberapa ritual keagamaan di Bali, tradisi Ngurek ini wajib dilakukan. Hal ini menjadi simbol wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Pada awalnya, atraksi Ngurek hanya dilakukan oleh para pemangku (tokoh keagamaan Hindu), namun kini siapa saja dapat melakukannya tanpa dibedakan status keagamaannya, bisa pemangku, penyungsung, pura, anggota krama desa, laki-laki maupun perempuan.

Penusukan tersebut tentu berlangsung ketika para pelaku dalam keadaan kerasukan. Jadi meskipun keris yang terhunus ditancapkan ke tubuh, keris tersebut tidak sedikit pun melukai tubuh tersebut.

Dalam tradisi Ngurek, kerasukan biasanya akan terjadi setelah melakukan prosesi ritual. Agar dapat mencapai klimaks kerasukan, para peserta harus melakukan beberapa tahapan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

  1. Nusdus, yaitu merangsang para pelaku Ngurek dengan asap yang beraroma harum.
  2. Masolah, tahap menari dengan diiringi lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
  3. Ngaluwur, yaitu mengembalikan pelaku Ngurek pada jati dirinya.

Masuknya roh ke dalam diri para pelaku Ngurek ini ditandai dengan beberapa kondisi, seperti: badan menggigil, gemetar, mengerang, dan memekik. Dengan diiringi dengan suara gamelan, para pelaku Ngurek yang kerasukan ini lalu menancapkan keris ke tubuh bagian atas, seperti: dada, bahu, leher, alis, hingga mata.

Meskipun keris tersebut ditancapkan dan ditekan dengan kuat secara berulang-ulang, tidak ada goresan sedikit pun pada badan pelaku Ngurek. Roh yang ada di dalam diri pelaku Ngurek tersebut menjaga tubuh mereka agar kebal dan tidak mempan ditusuk dengan senjata tajam.

Tradisi Ngurek seperti ini merupakan bagian dari upacara adat Bali. Pada saat ritual mengundang roh leluhur dilakukan, para roh tersebut diminta untuk berkenan merasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk sebagai pelaku Ngurek. Para pelaku Ngurek yang telah kerasukan juga menjadi sebuah tanda bahwa para roh leluhur telah hadir di tengah-tengah mereka.

7. Upacara Tumpek Landep

upacara adat bali
Tumpek Landep /nusabali.com

Tumpek Landep adalah hari yang dikhususkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Pasupati (Dewa Senjata). Tumpek Landep biasa diperingati stiap 6 bulan sekali pada Saniscara Kliwon wuku Landep.

Di dalam ajaran Hindu, ada beberapa hari suci Tumpek yang memiliki fungsi dan makna yang berbeda-beda. Kata tumpek sendiri berasal dari kata dasar tampa yang dalam kamus Jawa kuno memiliki arti “turun”.

Dari kata dasar tampa tersebut, kemudian mendapatkan sisipan serta mengalami berbagai perubahan konsonan dan persenyawaan sehingga lebih dikenal dengan kata tumpek. Dengan begitu, hari suci Tumpek dapat diartikan sebagai hari peringatan turunnya kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi ke dunia.

Sementara kata landep memiliki pengertian “tajam” atau “ketajaman”. Dapat disimpulkan bahwa Tumpek Landep merupakan ungkapan rasa syukur umat Hindu-Bali terhadap Sang Hyang Widhi Wasa yang turun ke dunia dan memberikan ketajaman pemikiran kepada manusia. Adapun sifat ketajaman sendiri disimbolkan layaknya senjata yang berbentuk runcing seperti keris, tombak, dan pedang.

Perayaan Tumpek Landep sendiri merupakan bagian dari rangkaian hari raya umat Hindu seperti: hari raya Galungan, hari raya Kuningan, hari raya Saraswati, hari raya Siwaratri, serta hari raya Tumpek Landep itu sendiri. Dalam perayaannya, dapat dilakukan di rumah dan pura dengan cara mengumpulkan benda-benda logam atau pusaka. Upacara ini biasa dilakukan dari pagi hingga sore hari.

Hingga saat ini, Tumpek Landep menjadi salah satu upacara adat Bali yang masih dilaksanakan. Bahkan di masa sekarang, benda-benda yang dikumpulkan bukan hanya berupa senjata atau pusaka saja, namun berbagai benda yang mengandung unsur logam yang telah menjadi bagian dari kebutuhan manusia seperti kendaraan dan alat-alat rumah tangga.

Benda-benda yang telah dikumpulkan tersebut lalu diupacarakan dengan diberi hiasan berupa janur yang biasa disebut tamian. Saat upacara berlangsung, benda-benda tersebut diberikan sesajian dengan harapan agar dapat mempermudah dan memperlancar kegiatan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Dengan berbagai rangkaian upacara tersebut, dapat disimpulkan bahwa Tumpek Landep adalah hari raya yang mengandung arti permohonan dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemudahan, rahmat, dan ketajaman pikiran.

8. Upacara Otonan

otonan bali
Otonan /kintamani.id

Bagi masyarakat umum, ulang tahun merupakan perayaan yang biasa dilakukan setiap tahun. Begitu juga dalam kebudayaan masyarakat Bali, ada perayaan kelahiran yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali, yaitu perayaan Otonan.

Secara harfiah, Otonan juga diartikan sebagai upacara perayaan ulang tahun. Bagi orang-orang Bali, pelaksanaan upacara Otonan merupakan wujud rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pelaksanaannya dilakukan berdasarkan dari hitungan oton (sama dengan weton dalam kebudayaan Jawa) yang memiliki arti secara literal “kelahiran” atau “menjelma ke dunia”.

Bagi masyarakat Hindu-Bali, Otonan merupakan perayaan yang kedatangannya harus dirayakan setiap 210 hari sekali. Bukan hanya menjadi wujud rasa syukur atas kelahiran dan nikmat yang diberikan, Otonan juga diyakini akan berpengaruh pada perilaku dan jalan hidup seseorang.

Pelaksanaan Otonan pertama pada seorang bayi dilakukan ketika berusia 210 hari. Selanjutnya, upacara tersebut dilakukan secara rutin sampai ajal menjemput. Dalam pelaksanaannya, upacara Otonan dipimpin oleh seorang pendeta, pemangku, atau tetua dalam keluarga dengan beberapa tata cara yang harus dilakukan:

  1. Pemujaan yang dilakukan oleh pendeta dalam maksud memohon kesaksian dari Sang Hyang Widhi.
  2. Pemujaan yang ditujukan kepada Siwa Raditya (Suryawastawa).
  3. Pemberian hormat kepada para leluhur yang telah mendahului.
  4. Pemujaan dilakukan pada saat prosesi potong rambut.
  5. Pemujaan inti pada upacara Otonan dan bersembahyang.

Upacara Otonan dapat dilaksanakan dengan cara yang sederhana ataupun meriah, tergantung dengan situasi dan kondisi keluarga masing-masing. Namun pada pelaksanaan Otonan pertama pada seorang bayi, biasanya dilakukan secara meriah dan besar-besaran karena upaya tersebut dimaksudkan dalam rangka menyambut keluarga baru.

Selain itu, upacara Otonan biasanya juga dilaksanakan secara meriah apabila bertepatan dengan bulan purnama.

9. Upacara Mesuryak

upacara adat bali
Mesuryak /merahputih.com

Mesuryak adalah salah satu upacara adat Bali yang merupakan warisan turun temurun dari masyarakat pendahulu, khususnya warga Desa Bongan, Kabupaten Tabanan. Upacara ini digelar setiap 210 hari sekali untuk merayakan hari raya Kuningan yang bertepatan pada 10 hari setelah hari raya Galungan.

Menurut kepercayaan orang Hindu, para roh leluhur turun ke dunia pada hari raya Galungan dan akan kembali ke nirwana pada hari raya Kuningan. Sementara tradsisi Mesuryak ini dimaksudkan untuk memberi bekal serta mengantarkan roh para leluhur kembali ke nirwana dengan rasa suka cita.

Secara harfiah, kata mesuryak sendiri berasal dari kata suryak yang berarti “berteriak” atau “bersorak”.

Dalam pelaksanaannya, upacara Mesuryak biasanya dimulai pada pukul 9 pagi dan berakhir pada jam 12 siang. Diyakini bahwa ketika telah lewat pukul 12 siang, para roh leluhur telah berangkat kembali ke nirwana.

Sebelum upacara dimulai, semua warga akan sembahyang di pura keluarga atau Pura Kahyangan Tiga yang berada di desa setempat. Para roh leluhur yang akan dilepas kepergiannya akan dibekali dengan banten pangadegan atau sesaji yang ditaruh di depan gerbang rumah. Sesajian dapat berupa beras, telur, pis bolong, dan perlengkapan lainnya sebagai bekal leluhur.

Ketika semua persiapan telah dilakukan, upacara Mesuryak dapat dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, masing-masing anggota keluarga memberi bekal kepada leluhur sesuai dengan kemampuannya, berupa dari uang logam hingga uang kertas dalam pecahan rupiah.

Uang-uang tersebut kemudian dilempar ke udara dan warga akan saling berdesakan dan berebut menangkapnya. Meskipun terjadi desak-desakan dan sampai ada yang terjatuh, seluruh warga melakukannya dengan rasa suka cita, tanpa ada kericuhan dan pertengkaran.

Tradisi Mesuryak memiliki makna kemakmuran. Uang-uang yang dilempar dan disebar merupakan simbol ungkapan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi.


Baca juga: 16 Lagu Daerah Bali Populer, Mengulik Makna di Baliknya


10. Upacara Piodalan

piodalan
Piodalan /badungkab.co.id

Piodalan, atau juga dikenal dengan Pujawali, Petoyan, atau Petirtaan, merupakan salah satu hari raya besar dalam ritual keagamaan Hindu. Piodalan merupakan bagian dari rangkaian upacara Dewa Yadnya yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi pada sebuah pura atau tempat suci. dalam pelaksanaannya, upacara ini dipimpin oleh seorang pemangku atau pendeta.

Secara harfiah, kata piodalan berasal dari kata wedal yang berarti “keluar” atau “lahir”. Pada saat hari Piodalan itulah, diperingati hari lahirnya sebuah pura atau bangunan suci dalam agama Hindu. Atau bisa juga dibilang, Piodalan merupakan upacara untuk merayakan ulang tahun sebuah pura atau tempat suci.

Untuk itulah, setiap pura di Bali memiliki hari yang ditetapkan sebagai hari suci untuk perayaan Piodalan atau Pujawali. Hari Odalan ini dirayakan berdasarkan perhitungan sasih yang merujuk pada kalender Saka yang jatuhnya setahun sekali. Ada juga yang merujuk perhitungan wuku pada penanggalan Bali yang jatuhnya setiap 6 bulan (210 hari) sekali.

Dalam pelaksanaannya, perayaan Piodalan dapat digelar dalam skala besar maupun kecil, tergantung pada kemampuan masyarakat setempat. Selain itu, pelaksanaannya juga dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu: Odalan tingkat nista, tingkat madya, dan tingkat utama, namun semuanya memiliki arti dan tujuan yang sama.


Baca juga: Mengulik 10 Upacara Adat Maluku Paling Menarik


***

Demikianlah 10 upacara adat Bali yang masih lestari hingga kini. Kebanyakan merupakan upacara yang berkaitan dengan keagamaan Hindu, karena memang Pulau Bali banyak didominasi oleh orang-orang beragama Hindu.

Sebetulnya, masih ada banyak sekali upacara-upacara adat Bali, atau tradisi serta ritual yang belum tercantum dalam tulisan ini karena keterbatasan waktu dan tempat. Namun dengan ini, setidaknya dapat menambah wawasan kita serta meningkatkan rasa toleransi antar umat beragama.


Baca juga: Menelusuri 7 Tradisi Adat Toraja yang Unik dan Horror


Referensi:

  • budaya-indonesia.org
  • wikipedia
  • badungkab.co.id
  • balikami.com
  • kintamani.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *