Menelusuri keunikan 10 upacara adat Jawa Timur yang memukau. Mulai dari yang bernuansa tradisional, mistis, hingga modern.
Jawa Timur, salah satu daerah provinsi di Indonesia yang memiliki ragam kekayaan budaya yang melimpah. Berbagai etnis dan suku bangsa turut mendiami wilayah ini dengan berbagai warna dan keunikannya masing-masing.
Pada artikel ini, kita akan sedikit mengulas upacara adat Jawa Timur yang tentu memiliki keunikan dan ke-khas-an yang menarik. Meski beberapa telah dipengaruhi oleh berbagai budaya dari luar, upacara adat Jawa Timur masih memiliki karakter yang khas dan patut untuk ditelusuri.
Berikut 10 upacara adat Jawa Timur yang berhasil kita rangkum dari berbagai sumber yang terpercaya. Semoga manfaat!
1. Tahlilan Kematian

Seperti yang telah umum diketahui, Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Maka tak heran kalau ada beragam budaya di Indonesia dipengaruhi oleh nuansa yang Islami.
Salah satunya adalah tradisi Tahlilan. Dalam ajaran Islam, tahlil adalah bacaan kalimat tauhid, yaitu la ilaaha illallah yang berarti “tiada tuhan selain Allah”. Selain sebagai kalimat syahadat, kalimat ini juga merupakan bacaan zikir yang disyariatkan serta memiliki nilai yang besar dan paling utama.
Dalam kebudayaan Nusantara, khususnya kebudaayan Jawa Timur, kalimat tahlil biasa digunakan dalam salah satu prosesi budaya Tahlilan sebagai bacaan zikir untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia.
Tahlilan sendiri adalah sebuah ritual untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia dengan membaca Alquran bersama, zikir bersama, dan membaca doa-doa tertentu, yang diselenggarakan oleh pihak keluarga yang ditinggalkan.
Dalam acara Tahlilan tersebut, biasanya dihadiri oleh para tetangga, kerabat, dan sanak keluarga besar. Tradisi ini akan diadakan sebagai peringatan pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahunan, dan 3 tahun setelah hari kematian dari orang yang meninggal tersebut.
Dalam sejarahnya, tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Walisongo dalam rangka penyebaran agama Islam pada zamannya. Tradisi ini merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu dimana dahulu memang terjadi akulturasi budaya di kalangan masyarakat Jawa.
Sebelum kedatangan Walisongo di Nusantara, sebagian besar masyarakat Jawa pada masa itu menganut agama Hindu karena pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu yang menguasai Pulau Jawa. Dalam ajaran Hindu, terdapat ritual penghormatan untuk orang yang meninggal pada peringatan hari ke-1, ke-3, ke-7, dan seterusnya.
Sementara Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dengan cara pelan-pelan karena orang-orang Jawa pada masa itu dinilai cenderung konservatif terhadap hal-hal baru. Maka dari itu, agar dakwah Islam dapat diterima oleh masyarakat, Walisongo menyelipkan nilai-nilai Islam dalam ritual ini dengan mengisinya dengan doa-doa yang disyariatkan agama Islam.
Hingga saat ini, budaya ini masih biasa dilakukan di masyarakat Islam Pulau Jawa. Meskipun tidak semua kalangan masyarakat Islam Jawa melakukannya karena dinilai bukan bagian dari syariat Islam.
Baca juga: Mengenal 10 Upacara Adat Bali yang Eksotis
2. Upacara Kasada Bromo

Upacara Yadnya Kasada atau Kasodo merupakan tradisi adat yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Suku Tengger yang mendiami kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur.
Tidak seperti masyarakat pemeluk Hindu pada umumnya yang memiliki candi sebagai tempat ibadah, masyarakat Tengger biasa melakukan upacara Kasada di Pura Luhur Poten yang terletak di kaki Gunung Bromo.
Bagi orang Tengger, Gunung Bromo atau Brahma adalah gunung suci. Upacara Kasada biasa dilakukan rutin setiap tahun pada tengah malam hingga dini hari di bulan Kasodo (kesepuluh) pada penanggalan Jawa. Selain sebagai penghormatan terhadap leluhur, Upacara Kasada juga dilakukan untuk mengangkat seorang tabib atau dukun di setiap desa.
Beberapa hari sebelum Upacara Kasada dimulai, masyarakat akan mengerjakan sesajian yang berisi berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Pada malam upacara berlangsung, mereka akan berbondong-bondong membawa ongkek yang berisi sesaji-sesaji tersebut menuju pura.
Tepat pada tengah malam, upacara pelantikan dukun dan pemberkatan umat di pura tersebut akan berlangsung. Selepas upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi berbagai sesajian tersebut akan dibawa dari kaki gunung menuju puncak gunung.
Sesampainya di puncak, mereka akan melemparkan sesajian-sesajian tersebut ke kawah Gunung Bromo sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Pengrobanan tersebut juga merupakan wujud terimakasih mereka kepada Tuhan atas hasil pertanian dan ternak yang melimpah,
3. Upacara Ruwatan

Ruwatan adalah salah satu upacara adat yang sejak dulu hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa secara luas. Kata ruwat sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti “membuang sial” atau “menyelamatkan orang dari gangguan tertentu”.
Bentuk gangguan tersebut dapat berupa kelainan dari suatu kondisi yang umum dalam sebuah keluarga atau dalam diri seseorang. Gangguan yang harus diruwat adalah gangguan yang berupa perbuatan yang dapat menimbulkan sial, celaka, atau dampak sosial lainnya.
Bagi masyarakat Jawa, Ruwatan merupakan satu bentuk usaha yang bertujuan agar kelak setelah menjalani upacara tersebut seseorang dapat memperoleh berkah berupa keselamatan, kesehatan, kedamaian, ketenteraman jiwa, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi diri sendiri secara khusus maupun bagi keluarga dalam lingkup yang lebih luas.
Pada pagelaran Pangruwatan Murwakala, biasa dilakukan dengan pertunjukan wayang yang ditanggap oleh seorang dalang khusus yang memiliki kemampuan dalam bidang Ruwatan.
Dalam ritual tersebut, seorang bocah sukerto akan dipotong rambutnya. Menurut kepercayaan Jawa, kesialan dan kemalangan bocah tersebut sudah menjadi tanggungan dalang karena bocah tersebut sudah menjadi anaknya.
Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan membutuhkan dana yang cukup banyak, maka pelaksanaan Ruwatan dengan pagelaran wayang di masa sekarang biasanya dilakukan dalam lingkup pedesaan atau dusun,
Hingga sekarang, upacara adat Ruwatan ini masih dilakukan dan dipercaya orang Jawa sebagai sarana pembebasan dan pensucian manusia dari dosa atau kesalahannya yang berdampak kesialan dalam hidupanya.
Dalam cerita wayang dengan lakon Murwakala pada upacara Ruwatan di Jawa, dikatakan berkembang dari cerita Jawa kuno yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda agar menjadi suci kembali.
Maka dalam kepercayaan orang-orang Jawa, orang yang berada dalam kondisi nandang sukerto atau berada dalam dosa atau mengalami kesulitan batin, maka perlu mengadakan Ruwatan agar menjadi suci kembali.
Dalam kata lain, meruwat adalah mengatasi atau menghindari suatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukan atau ritual dengan media wayang kulit yang mengambil cerita Murwakala.
4. Upacara Keduk Beji

Upacara Keduk Beji merupakan salah satu tradisi yang biasa diadakan setiap tahun di Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Upacara ini biasanya dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon menurut penanggalan Jawa-Islam.
Kata Mbah Wo Supomo selaku Juru Silep dan sesepuh Desa Tawun, tujuan upacara ini adalah untuk melestarikan adat budaya Desa Tawun yang ada sejak zaman dulu. Inti dari upacara Keduk Beji adalah penyilepan dan penggantian kendi yang disimpan di pusat sumber air Beji yang berada di dalam goa.
Menurut kepercayaan, kendi yang berada dalam sumber air Beji harus diganti setiap tahunnya agar sumber air tetap terjaga kebersihannya.
Sumber air Beji yang berada di Taman Wisata Tawun merupakan sumber air yang begitu penting bagi masyarakat sekitar. Air dari sumber tersebut biasa digunakan untuk minum, pengairan sawah, dan sumber air Taman Tawun sendiri. Maka dari itu, kebersihannya harus terus dijaga agar tidak mati.
Upacara Keduk Beji dimulai dengan melakukan pembersihan kotoran di dalam sumber air Beji. Seluruh warga Desa Tawun yang laki-laki akan turun ke sumber air untuk mengambil sampah dan dedauan yang menumpuk selama setahun terakhir.
Selama pembersihan tersebut, kaum laki-laki yang berada di dalam sumber air tersebut menari dan melakukan tradisi saling pukul menggunakan ranting dengan diiringi tabuhan gendang.
Upacara dilanjutkan dengan prosesi penyilepan dan penggantian kendi di dalam pusat sumber air. Orang yang berhak menyelam dan mengganti kendi tersebut adalah dari keturunan Eyang Ludro Joyo, yaitu seorang tokoh sesepuh desa yang dipercaya dulu jasadnya menghilang di sumber air Beji saat bertapa.
Lalu, upacara dilanjutkan dengan penyiraman air legen ke dalam sumber air Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke barat sumber. Upacara ditutup dengan selametan dan makan bersama berkat dari gunungan lanang dan gunungan wadon yang sudah disiapkan bagi warga untuk memperoleh berkah.
Selain sebagai pelestarian sumber air, upacara Keduk Beji juga merupakan ikon wisata budaya Kabupaten Ngawi. Bahkan setiap upacara ini digelar, ribuan wisatawan dari berbagai daerah sekitar ikut berkunjung ke Taman Tawun untuk menyaksikan upacara ini.
5. Upacara Sandhur
Sandhur atau Dhamong Ghardam merupakan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat di dataran Madura, Jawa Timur, Ritus ini berupa tarian yang dimaksudkan untuk memohon hujan, menjamin sumur penuh dengan air, menghormati makam keramat, membuang bahaya penyakit, atau mengenyahkan musibah dan bencana.
Bentuk ritus ini berupa tarian dan nyanyian yang diiringi dengan musik. Gerakannya tidak lebih dari penyesuaian irama tubuh dengan gerakan tarian daerah setempat. Irama tubuh muncuk secara spontan mengikuti irama nyanyian dan musik.
Dalam ritual tersebut, adakalanya beberapa peserta sampai mengalami kesurupan sehingga pelaksanaannya membutuhkan pawang atau dukun sebagai mediator dalam berhubungan dan berdialog dengan makhluk dari alam lain.
Salah satu tempat yang biasa diadakan upacara Sandhur adalah persimpangan jalan yang bertujuan untuk membuang pengaruh-pengaruh negatif. Ritual tersebut biasanya akan dipimpin oleh seorang dukun yang bertugas membacakan doa-doa dalam bahasa Madura dan Arab.
Daerah-daerah yang memiliki ritual sekaligus kesenian seperti ini hampir menyebar di dataran Madura bagian timur, seperti: Batuputih, Pasongsongan, Guluk-Guluk, Desa Pakondang, Desa Daramista, sampai di Saronggi, namun dengan bentuk ritus yang berbeda-beda.
Upacara Sandhur merupakan bentuk tradisi yang mengandung berbagai paduan unsur budaya, yaitu budaya Hindu, Budha, Jawa, dan budaya Islam. Hal itu dapat ditunjukkan dari syair-syair yang disenandungkan menggunakan bahasa Jawa kuno, bahasa Madura, hingga bahasa Arab.
Meskipun memiliki tujuan yang sama, Sandhur dan Dhamong Ghardam rupanya memiliki perbedaan yang terletak pada prosesi pelaksanaannya. Sandhur lebih mengedepankan unsur seni, dengan memadukan kepiawaian permainan musik, syair, dan gerakan tarian. Sementara Dhamong Ghardam lebih dominan dalam prosesi ritus-nya.
6. Larung Sembonyo

Larung Sembonyo adalah upacara adat sedekah laut yang telah dilakukan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang oleh masyarakat lokal nelayan Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan bentuk ungkapan rasa syukur bagi masyarakat setempat atas hasil laut yang melimpah.
Selain itu, upacara Larung Sembonyo juga merupakan bentuk permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika mencari ikan di laut. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kebudayaan Kota Trenggalek, terutama masyarakat pesisir Pantai Prigi.
Konon, upacara Larung Sembonyo ini lahir dari cerita rakyat mengenai peristiwa gaib ketika seorang Tumenggung dan pasukannya melakukan babat alas atau perluasan wilayah di daerah tersebut. Cerita tersebut juga melahirkan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat pesisir Pantai Prigi.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara Larung Sembonyo juga merupakan bentuk rasa hormat kepada leluhur yang telah membuka wilayah tersebut sebagai pemukiman. Tumenggung Yudho Negoro dan keempat saudaranya dianggap tokoh penting sebagai orang yang pertama kali membuka lahan di daerah tersebut.
Ketika tradisi ini tidak dilaksanakan, masyarakat akan merasakan ada sesuatu yang kurang. Dipercaya bahwa apabila upacara adat ini tidak dilaksanakan, maka akan terjadi berbagai kesulitan, seperti: gagal panen, tangkapan ikan yang sulit, wabah penyakit, hingga bencana alam dan berbagai kesulitan lainnya.
Pada tahun 1985, dikabarkan bahwa Upacara Larung Sembonyo ini berkembang kembali dan diselenggarakan secara besar-besaran, yang sebelumnya pernah berhenti karena kondisi politik yang kurang mendukung. Sampai saat ini, tradisi ini telah menjadi agenda rutin warga Trenggalek dan didukung oleh pemerintah Kabupaten Trenggalek sebagai pelestarian budaya.
Upacara Larung Sembonyo biasa diselenggarakan pada Senin Kliwon, bulan Selo, menurut penanggalan Jawa. Upacara ini juga memiliki berbagai istilah lain, seperti: Sedekah Laut, Upacara Adat Sembonyo, Mbucal Sembonyo, atau Bersih Laut.
7. Upacara Dam Bagong

Upacara Dam Bagong merupakan salah satu upacara adat Jawa Timur, khususnya pada masyarakat Dam Bagong, Kelurahan Ngantru, Kabupaten Trenggalek. Upacara ini berupa persembahan kepala kerbau yang dilarung ke bendungan Dam Bagong sebagai penghormatan terhadap seorang leluhur pahlawan tani, Ki Ageng Menak Sopal.
Dikisahkan, Ki Ageng Menak Sopal dikenal sebagai seorang pemuka agama yang berjuang meyebarkan Agama Islam di daerah Trenggalek. Selain itu, beliau juga dianggap sebagai pahlawan tani yang telah berjasa membangun pusat irigasi persawahan dan membangun bendungan Dam Bagong.
Pelaksanaan upacara Dam Bagong ini diawali dengan penyembelihan satu ekor kerbau. Daging kerbau tersebut nantinya akan dibagikan kepada masyarakat. Sedangkan kepalanya akan dilarung ke Sungai Bagong. Sebelum dilempar ke bendungan, potongan kepala kerbau tersebut dan beberapa tubuh lainnya akan diarak keliling kampung menuju makam Ki Ageng Menak Sopal.
Dengan diadakannya upacara seperti ini, masyarakat setempat berharap agar wilayahnya senantiasa mendapatkan kedamaian dan ketenteraman.
8. Upacara Kebo-Keboan

Kebo-Keboan adalah sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Osing (Using) yang mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Tradisi Kebo-Keboan sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian, yang dilaksanakan untuk meminta kesuburan tanah, panen yang melimpah, serta terhindar dari malapetaka, baik yang menimpa tanaman maupun manusia.
Menurut cerita yang berkembang, tradisi Kebo-Keboan ini berawal ketika daerah Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu munculnya berbagai hama penyakit yang menyebabkan matinya tanaman pertanian.
Untuk mengatasi bencana tersebut, seorang tokoh masyarakat bernama Buyut Karti melakukan sebuah ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah,
Rupanya, ritual tersebut dianggap mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Dari situlah, tradisi Kebo-Keboan kemudian diadakan secara rutin setiap tahun sekali.
Upacara Kebo-Keboan di Dusun Krajan ini biasa dilaksanakan setiap tahun sekali, yaitu pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Suro (tanpa melihat hari pasaran).
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan keramat. Sementara hari Minggu adalah hari dimana masyarakat libur bekerja, sehingga dapat mengikuti jalannya upacara tersebut.
Seminggu menjelang upacara Kebo-Keboan, biasanya masyarakat Dusun Krajan akan mengadakan kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan rumah dan dusun.
Kemudian sehari sebelum upacara, ibu-ibu bersama-sama mempersiapkan sesajian yang terdiri dari: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, ingkung ayam, dan sebagainya. Selain untuk acara selametan, seluruh sesajian tersebut nantinya akan diletakkan di setiap perempatan jalan Dusun Krajan.
Acara Kebo-Keboan dibuka dengan sebuah upacara sederhana di Petaunan yang dihadiri oleh panitia, para tokoh, dan beberapa warga Krajan. Upacara pembuka ini hanya berupa kata sambutan, doa, dan dilanjutkan dengan makan bersama.
Lalu, upacara dilanjutkan dengan pawai ider bumi berkeliling Dusun Krajan menuju bendungan air yang diikuti oleh para tokoh, seorang pawang, dua pasang kebo-keboan, para pembawa sesajian, dan para pemain musik hadrah dan barongan.
Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami palawija oleh para pemuda.
Sementara para peserta upacara menuju ke area persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah, kebo-keboan mulai memperlihatkan perilakunya yang menyerupai seekor kerbau yang sedang membajak sawah dan berkubang.
Saat mereka berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah dan menanam benih padi. Setelah tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru saja ditanam tersebut. Benih-benih tersebut dipercaya dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan, serta membawa berkah.
Di saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai sehingga kesurupan tersebut akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, kebo-keboan tersebut tidak sampai mencelakai karena telah dikondisikan oleh pawang.
Setelah selesai, para kebo-keboan tersebut disadarkan kembali oleh sang pawang dan kembali ke Petaunan.
9. Upacara Seblang

Upacara Seblang adalah sebuah ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Osing di Desa Bakungan dan Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Ritual ini dilakukan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, supaya lingkungan desa dalam keadaan aman dan tentram.
Pelaksanaan ritual Seblang di dua desa tersebut memiliki sejumlah perbedaan. Di Desa Olehsari, ritual ini dilaksanakan seminggu setelah hari raya Idul Fitri dengan penari perempuan yang masih perawan. Sedangkan di Desa Bakungan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha dengan penari yang telah menopause.
Dalam ritual tersebut, sang penari akan menari selama tujuh hari berturut-turut dalam kondisi kerasukan roh leluhur. Para penarinya sendiri dipilih secara gaib oleh seorang gambuh atau pawang, yang biasanya penari yang dipilih juga berasal dari keturunan penari Seblang sebelumnya.
Ritual tari Seblang ini dimulai dengan sebuah upacara yang dibuka oleh sang gambuh. Sang penari ditutup matanya oleh kaum ibu-ibu yang berada di belakangnya, sembari memegang sebuah tempeh (nampan bambu).
Sang gambuh lalu mengasapi sang penari dengan asap dupa sembari membacakan mantra. Setelah sang penari mengalami kejiman (kerasukan) yang ditandai dengan jatuhnya tempeh yang dipegangnya, pertunjukan tari Seblang pun dimulai.
Penari Seblang yang telah kejiman tersebut lalu menari-nari dengan gerakan monoton, mata terpejam, serta mengikuti arahan sang gambuh dan irama gendhing yang dimainkan. Bahkan, sang penari sampai berkeliling desa sambil menari.
Setelah beberapa saat, penari Seblang tersebut melempar selendang yang digulung ke arah penonton. Penonton yang terkena lemparan selendang tersebut harus mau ikut menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka ia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Baca juga: 10 Upacara Adat Aceh, Mengenal Tradisi di Tanah Rencong
10. Grebeg Suro Ponorogo

Grebeg Suro adalah sebuah acara tradisi budaya tahunan masyarakat Ponorogo dalam bentuk pesta rakyat. Berbagai kesenian dan tradisi ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawa Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Acara ini biasa dirayakan setiap tahun pada tanggal 1 Muharram atau 1 Suro menurut kalender Jawa. Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.
Rangkaian acara Grebeg Suro biasanya diawali dengan prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Lalu disusul dengan pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda yang telah dihiasi.
Berikutnya, lalu ada Festival Reog Nasional di alun-alun Kota Ponorogo. Puluhan grup reog di Jawa Timur, bahkan dari Kutai Kartanegara, Jawa Tengah, Balikpapan, hingga Lampung, turut tampil memeriahkan festival tersebut.
Dalam sejarahnya, acara Grebeg Suro Ponorogo ini berawal dari kebiasaan masyarakat, terutama kalangan warok, yang setiap malam 1 Suro mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo.
Sampai pada tahun 1987, Bupati kala itu, Soebarkah Poetro Hadiwirjo, melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.
Bermula dari ditengarainya minat para pemuda yang mulai luntur terhadap kesenian khas Ponorogo, diadakanlah Grebeg Suro Ponorogo dan memasukkan kesenian reog di dalamnya.
Baca juga: Eksotisme 7 Upacara Adat Papua, Budaya Tanah Mutiara Hitam
***
Demikianlah ulasan 10 upacara adat Jawa Timur yang memukau dan menarik. Mulai dari yang bernuansa tradisional, mistis, hingga modern telah mewarnai ragam kesenian dan budaya Jawa Timur.
Referensi
- budaya-indonesia.org
- wikipedia.com