Menelusuri 10 tradisi dan upacara adat Maluku. Dari yang kalem sampai yang angker.
Maluku adalah sebuah provinsi yang meliputi Kepulauan Maluku bagian selatan, sementara bagian utara merupakan bagian pemekaran yang kini dikenal dengan Provinsi Maluku Utara.
Soal kebudayaan, Kepulauan Maluku adalah tempat tinggal bagi berbagai macam suku yang sebagiannya mungkin belum banyak dipengaruhi oleh modernisasi dan globalisasi.
Jadi ketika ditelusuri, ada beberapa tradisi atau kebudayaan pada sekelompok masyarakat di Maluku masih terkesan unik, primitif, bahkan angker. Salah satu contohnya ada ritual pengasingan wanita hamil pada masyarakat Suku Naulu yang mendiami Pulau Seram, Maluku.
Di sini, ada 10 tradisi, ritual, atau upacara adat yang telah kita rangkum dalam sebuah postingan, yang diharapkan dapat menambah wawasan dan rasa toleransi untuk kita para pembaca. Maka inilah 10 upacara adat Maluku yang paling menarik untuk dibahas.
Daftar Isi
1. Aturan Adat Sasi

Sasi adalah sebuah adat khusus yang berlaku di hampir seluruh pulau di Provinsi Maluku, seperti: Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, dan pulau-pulau lainnya. Budaya ini juga berlaku di banyak daerah di tanah Papua.
Namun di beberapa daerah lain, budaya Sasi ini memiliki nama lain, seperti: Yot di Kei Besar dan Yutut di Kei Kecil. Di desa-desa pesisir Papua, budaya ini dianggap sebagai cara pengolahan sumber daya alam.
Adat Sasi adalah larangan untuk tidak mengambil hasil alam sebelum tiba waktu yang telah ditentukan, baik berupa hasil pertanian maupun hasil kelautan.
Tujuannya, agar ketika datang waktu panen, hasil pertanian atau kelautan dapat dipanen bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja keras yang telah mereka lakukan.
Budaya Sasi merupakan sebuah peninggalan yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad lalu. Tradisi seperti ini membuat masyarakat Maluku untuk tetap menjaga alam agar tetap lestari.
Dalam prinsipnya, selain berupa larangan mengambil hasil alam sebelum tiba waktu yang telah ditentukan, adat Sasi juga dapat memberikan kepuasan tersendiri dari hasil usaha yang telah dikerahkan.
Pada awalnya, budaya Sasi ini telah diberlakukan oleh raja-raja Maluku sejak masa sebelum masuknya agama. Namun pada saat masuknya agama di Maluku, baik Islam maupu Kristen, budaya Sasi kemudian dipegang teguh oleh para penanggungjawab masjid dan gereja.
Baca juga: Mengenal 10 Upacara Adat Bali yang Eksotis
2. Obor Pattimura

Tanggal 15 Mei adalah hari dimana seorang pahlawan Maluku, Thomas Pattimura, melakukan perlawanan dan mengusir pernjajah dari Tanah Maluku. Sehingga di hari itu kemudian dikenal sebagai Hari Pattimura yang diperingati setiap tanggal 15 Mei.
Dalam perayaannya, biasanya pemerintah Maluku bersama rakyat setempat melakukan prosesi adat dan kebangsaan untuk memperingati Hari Pattimura.
Satu prosesi yang paling terkenal adalah lari obor dari Pulau Saparua menyeberangi lautan menuju Pulau Ambon, lalu diarak sepanjang 25 kilometer menuju Kota Ambon.
Prosesi tersebut diawali dengan pembakaran obor secara alami di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Gunung Saniri sendiri merupakan salah satu situs sejarah perjuangan Pattimura. Karena di tempat itulah, perjuangan perlawanan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda berawal pada tahun 1817.
Dalam kisah sejarahnya, Gunung Saniri adalah tempat dimana para Latupati atau raja-raja dan tokoh masyarakat Pulau Saparua berkumpul dan melakukan Rapat Saniri untuk menyusun strategi penyerangan ke Benteng Durstede.
Dari sanalah, disepakati pengangkatan Thomas Matulessy dari Desa Haria sebagai Kapitan atau panglima perang dengan gelar Pattimura.
Penyerangan rakyat Maluku ke Benteng Dusrtede melewati Pantai Waisisil tidak menyisakan satupun serdadi Belanda, termasuk Residen Belanda Van de Berk dan keluarganya.
Semuanya tewas terbunuh, dan yang hidup hanyalah putra Van de Berk yang kala itu masih berusia lima tahun. Ia diselamatkan oleh Pattimura dan kemudian diserahkan kembali kepada pemerintah Belanda di Ambon.
Dari peristiwa inilah, api perjuangan terus dikobarkan. Kemenangan Pattimura atas Benteng Durstede inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi rakyat Maluku untuk angkat senjata melawan Belanda. Peperangan pun tak bisa dielakkan di hampir seluruh wilayah di Maluku.
Namun dalam perjalanannya, Kapitan Pattimura dan rekan-rekannya berhasil tertangkap oleh Belanda melalui siasat liciknya. Mereka lalu diputuskan oleh Pengadilan dengan dijatuhi hukuman mati.
3. Tradisi Pataheri

Membahas soal tradisi Pataheri, tak lepas kaitannya dengan Suku Naulu sebagai komunitas masyarakat yang memberlakukan tradisi tersebut. Suku Naulu (juga dieja dengan Noaulu atau Nuaulu) banyak mendiami wilayah selatan-tengah Pulau Seram, Maluku.
Ciri utama Suku Naulu adalah adanya ikat kepala merah yang dikenakan oleh kaum pria dewasa. Umumnya, masyarakat Suku Naulu memegang kepercayaan tradisional yang diwariskan nenek moyang mereka.
Sebenarnya ada dua ritual yang dianggap tak lazim yang diberlakukan oleh Suku Naulu ini, yaitu tradisi mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, serta tradisi pemenggalan kepala manusia sebagai persembahan.
Pataheri adalah ritual yang diberlakukan untuk seorang anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa. Dalam tradisi Suku Naulu, seorang laki-laki yang telah beranjak dewasa harus mengenakan ikat kepala berwarna merah yang terbuat dari kain berang.
Namun untuk memperoleh ikat kepala ini, ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh sang anak. Sebagai syarat, sang anak harus memenggal kepala orang lain, barulah ia diperkenankan mengenakan ikat kepala merah tersebut.
Namun untungnya, tradisi angker ini sudah tidak diberlakukan lagi sejak awal era 1900-an. Namun sempat muncul kembali secara ilegal pada tahun 2005.
Ketika itu, ditemukan dua mayat tanpa kepala di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Usut punya usut, dua orang malang itu dipenggal kepalanya untuk persembahan ritual tradisional Suku Naulu. Pelakunya pun akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Masohi.
Kini, tradisi mengerikan ini telah dihapus, baik untuk acara persembahan maupun ritual pengangkatan anak suku menjadi pria dewasa. Namun sebagai gantinya, persembahan untuk ritual mengangkat anak Suku Naulu menjadi pria dewasa adalah dengan menyembelih hewan kuskus.
4. Tradisi Masa Kehamilan Suku Nuaulu

Selain Pataheri yang telah kita singgung pada poin sebelumnya, satu bentuk tradisi yang mungkin dianggap aneh bagi kebanyakan orang yang diberlakukan oleh masyarakat Suku Naulu adalah pengasingan wanita hamil.
Itulah salah satu tradisi masyarakat Naulu yang mendiami pedalaman Pulau Seram, Maluku. Mereka punya tradisi mengasingkan wanita-wanita hamil di gubuk-gubuk yang telah disediakan secara khusus sebelumnya, yang berada jauh dari rumah.
Orang Naulu menyebut gubuk-gubuk tersebut dengan tikusune, tempat mengasingkan wanita hamil. Sebenarnya bukan wanita hamil saja, namun perempuan yang tengah datang bulan juga diasingkan di gubuk tersebut.
Wanita-wanita yang hamil tersebut akan diantarkan oleh keluarga ke gubuk tikusune yang telah disediakan untuk menjalani tradisi yang telah lama bercokol di lingkungan masyarakatnya itu.
Ia ditinggalkan sendirian tanpa ada yang menemani. Jika sudah tiba waktu persalinan, si wanita hamil itu akan dibantu oleh seorang dukun beranak yang sudah berpengalaman dalam menangani persalinan jabang bayi dari perut sang ibu.
Setelah masa persalinan selesai, maka sang ibu dan si bayi akan dimandikan terlebih dahulu sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah. Keluarga yang akan menyambut di rumah juga diwajibkan berpuasa sehari penuh, barulah bayi akan diantarkan ke rumah.
Dalam penyambutannya pun, pihak keluarga akan menggelar acara jamuan atau makan bersama dengan masyarakat.
Tradisi seperti ini sudah mengikat sejak lama dan wajib dilakukan. Apabila ada yang melanggar tradisi ini, akan dikenakan denda yang cukup berat dengan piring tua dan kain berang bagi kaum perempuan.
5. Pela Gandong

Pela Gandong merupakan salah satu kebudayaan khas Maluku, terutama daerah Maluku Tengah. Tradisi ini merupakan bagian dari upacara adat Maluku yang masih dibudayakan sampai sekarang karena memang mengandung nilai-nilai persatuan yang tinggi.
Dalam pengertiannya, Pela adalah suatu hubungan perjanjian persaudaraan antar satu negeri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negeri yang lain, yang biasanya berada di lain pulau dan kadang juga menganut agama yang berbeda. Sedangkan Gandong memiliki makna “saudara”.
Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah, campuran sopi (tuak khas Maluku) dan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pemimpin setelah senjata-senjata tajam dicelupkan di dalamnya.
Hubungan Pela seperti ini biasanya terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa untuk saling membantu. Dalam ikatannya, terdapat rangkaian nilai dan aturan tertentu dalam persekutuan persaudaraan dan kekeluargaan.
Salah satu aturan yang mendasari perjanjian Pela yaitu negeri-negeri yang saling ber-pela wajib saling membantu dalam kejadian genting, seperti perang atau bencana alam. Selain itu, juga dalam melaksanakan kegiatan kepentingan umum seperti pembangunan sekolah, masjid, atau gereja.
Kemudian apabila ada seseorang mengunjungi negeri yang ber-pela dengan negerinya, maka penduduk negeri tersebut wajib memberinya makanan layaknya seorang saudara yang bertamu.
Seorang yang bertamu tersebut juga diperkenankan membawa pulang hasil bumi dari negeri tersebut, bahkan tanpa perlu meminta izin.
Namun karena hubungannya dianggap seperti seorang saudara sedarah, maka sepasang muda-mudi yang negerinya saling ber-pela juga dilarang untuk menikah.
Apabila sampai ada yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, konon akan mendapat hukuman dari nenek moyang, seperti keturunannya nanti akan terkena musibah jatuh sakit atau meninggal.
Sementara jika ada yang melanggar pantangan soal pernikahan, maka pelakunya bisa ditangkap dan diarak mengelilingi negerinya dengan hanya berpakaian daun kelapa. Sementara penduduk negeri akan mencacinya layaknya seorang pezina.
Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat hubungan antara satu negeri dengan negeri lainnya, termasuk dalam hal kerukunan antar umat beragama.
Maka dari itu, Pela Gandong sangat berfungsi untuk mengatur sistem interaksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai bidang.
6. Makan Patita

Makan Patita adalah sebuah tradisi kuliner dan merupakan bagian dari upacara adat Maluku yang masih dipertahankan sampai saat ini. Esensi dari kegiatan ini adalah makan bersama dalam jumlah massa yang banyak dengan dilandasi semangat kekeluargaan.
Biasanya, jenis makanan yang disuguhkan dalam tradisi ini berupa makanan tradisional yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Maluku. Ada kasbi (singkong), pisang rebus, sagu, kohu-kohu (urap Maluku), ikan, colo-colo, papeda, dan lain sebagainya.
Tradisi Makan Patita ini biasanya digelar untuk merayakan hari-hari yang dianggap penting, semisal hari jadi suatu negeri (desa), hari jadi gereja atau masjid, atau ulang tahun kota atau provnisi.
Selain itu, ada juga Makan Patita antar keluarga atau marga, antar soa (kumpulan marga), bahkan ada juga Makan Patita antar Pela Gandong.
Siapapun yang hadir dalam acara Makan Patita, boleh sesuka hati mencicipi segala jenis makanan yang tersedia. Lantas, siapa yang menanggung atau menyediakan makanan sebanyak itu? Itulah keistimewaan orang Maluku yang lebih mengedepankan semangat kekeluargaan.
Biasanya, berbagai jenis makanan tersebut disediakan oleh masyarakat sendiri. Masing-masing keluarga sebelumnya sudah dibagi tanggungjawab untuk menyediakan jenis makanan tertentu.
Ketika tiba hari yang sudah diagendakan, masing-masing keluarga tersebut akan membawa jenis makanan yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan diawali doa dan ritual adat, acara pun dimulai dan semua orang yang hadir boleh mencicipi segala makanan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Dalam setahun, masyarakat Maluku bisa menggelar acara Makan Patita ini sampai dua, tiga, bahkan empat, atau lima kali. Karena acara makan bersama seperti ini digelar untuk merayakan suatu momen penting.
7. Tradisi Timba Laor
Timba Laor adalah salah satu festival unik Maluku berupa ritual mencari cacing laut yang dilakukan oleh masyarakat Ambon. Tradisi ini mirip dengan Festival Bau Nyale di Lombok.
Keunikan dan keseruan festival Timba Laor juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk datang ke Maluku. Para pengunjung akan diajak menimba laor (cacing laut) yang muncul ke permukaan selama kurang lebih dua jam pada saat bulan purnama.
Momen seperti itu sangat jarang terjadi. Dalam setahun, mungkin hanya terjadi sekali saat bulan purnama, pada bulan Maret atau April. Bukan hanya menimba laor saja, pada festival ini para pengunjung juga diajak memasak dan menyantap laor bersama dengan warga.
Laor sendiri adalah sebutan untuk cacing laut atau lyced oele. Cacing laut ini memiliki berbagai macam warna, ada yang merah, hijau, atau kuning, dengan ukuran panjang 3-5 cm. Cacing laut ini juga dikabarkan memiliki kandungan protein tiga kali lebih banyak dari ikan.
Festival unik ini biasa diselenggarakan di beberapa daerah seperti: Desa Latulahat, Kecamatan Nusaniwe; Desa Rutong dan Hukurila, Kecamatan Leitimur Selatan; serta Pantai Latulahat dan Pantai Air Low.
8. Tradisi Cuci Negeri

Tradisi Cuci Negeri meruupakan salah satu upacara adat Maluku yang erat kaitannya dengan hubungan antara masyarakat dengan nenek moyang. Bagi masyarkata setempat, pelaksanaan upacara ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang.
Negeri, bagi orang Maluku adalah sebutan untuk “desa”. Itulah kenapa masyarakat Maluku lebih mengenal negeri daripada desa. Karena desa disebut negeri, maka pemimpin daerah tersebut bukan lagi dikenal dengan kepala desa, melainkan Bapa Raja.
Tradisi Cuci Negeri sendiri adalah sebuah tradisi yang digelar oleh peduduk negeri untuk membersihkan lokasi-lokasi yang dipercaya sebagai tempat sakral sejak zaman nenek moyang dahulu. Tradisi ini sudah sejak lama diselenggarakan dan diwariskan secara turun temurun, sampai masa sekarang pun masih diselenggarakan.
Upacara Cuci Negeri ini dimulai dengan dibawanya beberapa seserahan berupa sirih dan pinang oleh kaum wanita. Bukan hanya makanan, dalam seserahan itu dibawa juga minuman tradisional masyarakat setempat yang dikenal dengan nama Sopi.
Seserahan tersebut akan dibagikan kepada warga saat upacara Cuci Negeri dimulai dengan diikuti dengan pembacaan doa-doa oleh pemangku adat setempat.
Pelaksanaan tradisi Cuci Negeri ini berupa kegiatan membersihkan lokasi-lokasi ritual, seperti: sumur tua, rumah tua, dan juga batu pamali milik tiga soa yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.
Selama prosesi adat berlangsung, sebagian orang biasanya meminum Sopi serta memakan sirih dan pinang yang menjadi lambang persekutuan adat. Sedangkan warga yang lain mengiringi prosesi pembersihan dengan menyanyikan lagu adat dan tabuhan tifa hingga acara adat selesai.
Rupanya bukan hanya atas dasar warisan secara turun temurun, tradisi Cuci Negeri juga dimaksudkan untuk memelihara dan menghidupkan nilai-nilai positif yang diyakini masyarakat setempat agar selalu dihidupkan oleh generasi muda mereka.
Sampai saat ini, upacara Cuci Negeri ini masih dapat ditemui karena masih terpelihara dengan baik oleh masyarakat setempat. Biasanya, pelaksanaannya diadakan pada akhir tahun, 27-29 Desember.
Alasannya, menurut kepercayaan masyarakat setempat, akhir tahun adalah saat-saat dimana arwah leluhur biasanya turun dari tempat peristirahatannya menuju tempat dimana mereka pernah hidup.
Selain sebagai pemeliharaan terhadap tempat bersejarah, tradisi Cuci Negeri juga menghidupkan nilai-nilai persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi antar penduduk negeri.
Nilai-nilai itulah yang membuat upacara adat Maluku Cuci Negeri ini masih bertahan dilaksanakan hingga sekarang ini.
9. Tradisi Kaul dan Abdau

Tradisi Kaul dan Abdau merupakan upacara adat Maluku yang telah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu, yaitu setelah terbentuknya pemerintahan otonom yang bersyariat Islam sekitar 1600-an Masehi.
Sampai sekarang, upacara ini masih diwariskan secara turun temurun dan diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya pada saat hari raya Idul Adha.
Tradisi ini bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Maluku. Warga dari seluruh penjuru Kota Ambon akan datang beramai-ramai menuju Negeri Tulehu, Maluku Tengah untuk menyaksikan tradisi ini.
Tradisi Kaul dan Abdau adalah serangkaian acara berupa atraksi, pertunjukan, hingga parade budaya yang diadakan oleh masyarakat Negeri Tulehu bersama warga dari beberapa negeri lain.
Atraksi Kaul Kuraban atau penyembelihan hewan kurban bisa dibilang merupakan acara inti pada serangkaian acara tradisi tersebut. Seperti yang telah umum diketahui, penyembelihan hewan kurban merupakan bagian dari syariat Islam yang bermula dari kisah Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail.
Daging dari hasil hewan kurban ini lalu akan dibagikan kepada fakir miskin atau mereka yang berhak menerimanya menurut hukum syariat Islam.
Dalam tradisi Kaul dan Abdau, terdapat dua sesi penyembelihan hewan kurban. Yang pertama adalah penyembelihan untuk umum yang dilakukan setelah salah Id. Kemudian ada sesi penyembelihan secara khusus yang terdiri dari seekor kambing inti dan dua kambing pendamping,
Sebelum penyembelihan secara khusus, tiga kambing tersebut akan digendong dengan kain oleh pemuka adat dan agama dan diarak berkeliling negeri. Sambil mendengungkan takbir dan salawat, kambing itu diarak menuju pelataran Masjid Negeri Tulehu.
Penyembelihan dilangsungkan oleh Imam Besar Masjid Negeri Tulehu. Dari atas masjid, kelompok ibu-ibu menaburkan bunga yang harum aromanya. Sementara darah cipratan kambing tersebut diperebutkan oleh para pemuda anggota adar Abdau, sebuah simbol bahwa pemuda Tulehu rela berkorban untuk kebenaran.
Selepas penyembelihan, prosesi Abdau pun akan dilangsungkan. Pesertanya kebayakan adalah para pemuda. Dengan hanya berkaos singlet, berikat kepala warna putih, mereka beramai-ramai menuju rumah imam Negeri Tulehu.
Sang imam kemudian menyerahkan bendera hijau berenda dengan benang berwarna kuning emas. Hijau melambangkan kesuburan, sementara kuning adalah simbol kemakmuran. Bendera inilah yang nantinya akan diperebutkan oleh ratusan pemuda sebagai peserta tradisi ini.
Sekilas mungkin terkesan seperti terjadi kekacauan, karena memang mereka sampai saling pukul, saling injak, dan dorong demi memperebutkan bendera tersebut.
Namun sebenarnya sebelum prosesi perebutan bendera dilakukan, para pemuda ini terlebih dulu disiram dengan air khasiat oleh Imam Besar yang konon membuat tubuh mereka terbebas dari rasa sakit.
Sementara para pemuda memperebutkan bendera, orang-orang di sekeliling berteriak, menyoraki, dan memberikan dukungan kepada para pemuda agar berhasil mendapatkan bendera yang melambangkan kesuburan dan ketentraman itu.
Baca juga: Mengenal Upacara Adat Sulawesi Barat yang Jarang Diketahui
10 Upacara Tihi Huau

Tihi Huau merupakan upacara adat Maluku yang erat kaitannya dengan Suku Naulu sebagai sekelompok masyarakat yang menumbuhkan tradisi ini. Upacara ini juga berkaitan dengan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Suku Naulu.
Menurut kepercayaan tersebut, seorang anak, baik laik-laki maupun perempuan, sangat mudah disusupi pengaruh oleh roh jahat. Maka dari itu, perlu diadakan suatu ritual upacara dengan harapan agar anak terhindar dari pengaruh buruk tersebut.
Selain itu, diharapkan juga agar sifat-sifat buruk dari orang tuanya tidak menurun ke anaknya, sehingga kelak si anak tumbuh menjadi seseorang yang melaksanakan peran sosialnya dengan baik.
Pemutusan pengaruh jahat tersebut disimbolkan dengan prosesi pemotongan rambut. Menurut kepercayaan mereka, rambut merupakan bagian tubuh manusia yang memiliki daya magis.
Dalam pelaksanaanya, upacara ini diawali dengan mendudukan si anak pada sebuah kursi yang telah disediakan. Diikuti dengan keluarganya dengan posisi membentuk lingkaran mengelilinginya.
Lalu, seorang momo kanate (kepala soa yang memimpin upacara) menghampirinya, membaca doa, dan memotong sebagian rambut si anak menggunakan alat yang disebut dengan bulu sero.
Selama pencukuran berlangsung, pihak keluarga juga memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana dan roh nenek moyang memohon keselamatan.
Setelah prosesi pencukuran, sang momo kanate lalu menyisir rambut si anak menggunakan sabut kepala. Lalu, kepala si anak dibersihkan menggunakan air yang telah dimantrai sebelumnya oleh sang momo kanate. Penyiraman ini sekaligus sebagai simbol bahwa si anak telah terbebas dari pengaruh buruk dari roh jahat ataupun orang tuanya.
Rambut dari anak yang telah diupacarakan lalu diambil sebagian oleh momo kanate dan dimasukkan ke dalam sebuah ruas bambu yang telah dipersiapkan. Ruas bambu tersebut lalu diberi tanda pengenal dan ditempatkan di dalam numaonate (rumah soa) sebagai data jiwa.
Jadi, di dalam rumah tersebut sudah terdapat ratusan ruas bambu yang merupakan arsip dari anak-anak yang telah diupacarakan. Rumah tersebut juga menjadi semacam data jumlah penduduk dalam suku tersebut. Apabila ada seorang anggota suku yang meninggal, maka ruas bambu yang berisi rambut miliknya pun ikut dikuburkan.
Upacara adat maluku ini lalu diakhiri dengan acara makan bersama. Untuk itu, tuan rumah mempersilahkan tamu undangan mencicipi hidangan yang telah disediakan. Makan bersama ini juga sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Upu Kuanahatana dan roh-roh leluhur karena upacara berjalan dengan lancar.
Baca juga: Menelusuri 7 Tradisi Adat Toraja yang Unik dan Horror
Referensi:
- wikipedia
- budaya-indonesia.org