Menelusuri 7 upacara adat Sulawesi Tengah, dari upacara pengobatan, kelahiran, sakaratul maut, hingga syukuran musim panen telur maleo.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Berbagai tradisi yang menyangkut pada segala aspek kehidupan masih terpelihara dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai macam kepercayaan lama juga merupakan bagian dari warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam bentuk tradisi, ritual, ataupun upacara adat. Meskipun dalam pelaksanaannya telah banyak dipengaruhi oleh segala bentuk modernitas dan peranan agama.
Pada kesempatan ini, kita akan sedikit mengulas dan menelusuri berbagai bentuk bentuk upacara adat Sulawesi Tengah yang banyak didominasi oleh masyarakat Suku Kaili dan Suku Kulawi. Namun, ragam kebudayaan tersebut masihlah sangat menarik untuk dibicarakan.
Berikut kita rangkum 7 upacara adat Sulawesi Tengah yang khas dan beragam.
Daftar Isi
1. Upacara Nokeso

Nokeso adalah sebuah upacara di Sulawesi Tengah bagi seorang perempuan yang telah menjelang usia baligh (nabalego), yaitu dengan menggosok gigi bagian depan hingga rata.
Biasanya, pelaksanaannya dilakukan tepat sebelum seorang perempuan mengalami menarche (haid pertama). Apabila seorang gadis telah mengalami haid, biasanya orang tua akan merasa malu untuk mengupacarakannya. Namun karena tuntutan adat, upacara akan tetap dilaksanakan.
Teknis upacara ini umumnya ditentukan oleh seorang vati sesuai dengan status sosial atau warisan yang pernah diterima dari orang tuanya atau nenek moyangnya. Sementara bagi seorang keturunan bangsawan, peran vati digantikan oleh ketua dewan adat.
Upacara Nokeso bisa dikatakan adalah semacam upacara peresmian atau pernyataan bahwa seorang anak perempuan yang diupacarakan telah mengakhiri masa kanak-kanak dan memasuki masa kedewasaan. Maka dari itu, diharapkan si perempuan tersebut selalu menjaga dirinya, tutur kata, serta adat istiadat leluhurnya.
Bagi masyarakat setempat, upacara ini dimaksudkan untuk mengantarkan anak perempuan memasuki masa karandaa (gadis). Diharapkan, seorang anak perempuan senantiasa diliputi kebahagiaan tanpa gangguan mental maupun fisik, serta kemudahan dalam urusan jodoh, rezeki, dan panjang umur.
Bagi seorang putri bangsawan, upacara Nokeso biasanya akan digelar secara besar-besaran oleh Ketua Dewan Adat Kerajaan selama tujuh hari tujuh malam dan melibatkan seluruh rakyat desa. Biaya pesta biasanya diperoleh dari bantuan rakyat yang disebut dengan pekasuvia, berupa hewan ternak, beras, sayur-sayuran, dan sebagainya.
Namun bagi rakyat biasa, upacara Nokeso akan dilaksanakan secara sederhana saja. Selesai dalam waktu sehari.
Baca juga: Mengenal 10 Upacara Adat Bali yang Eksotis
2. Baliya Jinja

Baliya Jinja adalah sebuah upacara ritual pengobatan yang bersifat non-medis dan telah dikenal sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Suku Kaili. Sebelum masa tersedianya rumah sakit, upacara ini diandalkan masyarakat Kaili untuk memperoleh petunjuk dari roh nenek moyang terkait bagaimana menyembuhkan penyakit yang tengah menimpa seseorang.
Namun hingga kini, upacara ini masih dilakukan. Ritual akan dipimpin oleh seorang dukun atau tetua yang disebut dengan Tina Nu Baliya. Sang dukun biasanya akan mengenakan pakaian khusus berupa sarung, baju ari fuya, serta destar (tudung) berwarna merah.
Dalam pelaksanaannya, Tina Nu Baliya akan duduk mengelilingi seorang penderita penyakit yang diupacarakan. Sementara sejumlah tiga orang bertugas meniup seruling, memukul tambur, dan gong. Sedapat mungkin, alunan musik dimainkan dengan lemah lembut.
Lirik syair yang disenandungkan juga berisi puji-pujian yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa agar berkenan menghilangkan segala gangguan setan dan jin, serta mengembalikan kesehatannya seperti sediakala.
Dalam prosesinya, ritual Baliya Jinja dibagi menjadi dua jenis, yaitu sesajian yang dilarung ke laut atau dibuang di gunung. Dalam sesajiannya pun, ada beberapa macam, ada adat 9 dan adat 7. Angka-angka tersebut berkaitan dengan jumlah sesajian yang dikorbankan, berupa ada sesaji inang, gambir, tembakau, dan lain sebagainya.
Pelaksanaannya pun biasanya berlangsung selama berjam-jam. Setelah selesai prosesi ritual, sesajian yang telah disiapkan tersebut akan dilarung ke laut pada keesokan harinya sebagai simbol untuk membuang penyakit yang mendera si penderita.
3. Upacara Rakeho

Masih berkaitan dengan upacara masa menjelang dewasa, Rakeho adalah upacara untuk menyambut peralihan masa remaja ke masa dewasa bagi kaum laki-laki masyarakat Suku Kulawi di Sulawesi Tengah.
Bentuk inti pelaksanaan upacara Rakeho adalah meratakan gigi bagian depan serata dengan gusi, baik gigi atas maupun gigi bawah. Bukan hanya untuk mencari keselamatan, upacara ini juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan keharmonisan hubungan rumah tangga.
Waktu pelaksanaan upacara Rakeho tidak terikat pada perhitungan waktu, hari, atau bulan, namun disesuaikan dengan kemampuan orang tua yang hendak menyelenggarakannya. Biasanya, upacara ini dilaksanakan pada waktu setelah panen berhasil karena di saat itulah orang tua memiliki kemampuan untuk menggelar upacara adat ini.
Upacara Rakeho biasanya dilaksanakan pada siang hari di sebuah tempat yang telah disiapkan oleh orang tua, yaitu sebuah rumah yang telah dikosongkan di tempat yang sedikit terpencil dan jauh dari keramaian.
Dalam teknisnya, upacara Rakeho hanya melibatkan seorang topekeho (dukun) yang telah memiliki pengalaman dan keahlian dalam mengikir gigi. Keahlian seperti ini biasanya dimiliki topekeho yang diwariskan secara turun temurun dari pendahulunya.
4. Upacara Ratompo
Ratompo adalah sebuah upacara yang khusus diadakan bagi seorang gadis bangsawan yang telah menjalani prosesi Mancumani dalam sebuah pesta adat antar kampung. Prosesi upacara Ratompo kurang lebih sama dengan upacara Rakeho, yaitu semacam pengikiran gigi bagi seorang perempuan yang telah menjelang usia dewasa.
Adapun waktu pelaksanaannya digelar mulai dari pagi hari agar seluruh prosesi upacara dapat dilakukan secara cermat. Sementara tempat upacara harus jauh dari keramaian, seperti: di sebuah rumah kosong yang jauh dari keramaian, atau di bawah pohon rindang di tengah hutan.
Prosesi upacaranya sendiri hanya melibatkan seorang topetompo (dukun) sebagai pemimpin yang dibantu oleh seorang topepalielu. Selain kedua orang tersebut bersama gadis yang diupacarakan, tidak ada yang boleh menyaksikan atau mengikuti jalannya prosesi Ratompo, termasuk keluarganya.
Sebelumnya, si gadis yang diupacarakan akan memakai sebuah baju yang terbuat dari kulit kayu, yang biasa disebut haili, dan sarung dari mbesa. Si gadis juga akan diberi makan ketan putih dan telur sebagai simbol bahwa si gadis telah rela untuk menjalani seluruh tahapan upacara.
Setelah prosesi pengikiran gigi selesai, si gadis akan diberi obat berupa air hangat dan porama mavau untuk berkumur. Setelah darah yang keluar mulai berkurang, si gadis akan dipulangkan ke rumahnya dan diserahkan kepada orang tuanya.
5. Upacara Nopamada
Nopamada adalah sebuah upacara yang dilakukan pada saat-saat seseorang menjelang sakaratul maut, dimana seluruh keluarga berkumpul dan berjaga-jaga menjelang datangnya ajal.
Bagi masyarakat Kaili, momen seperti itu adalah waktu berharga untuk hadir bersama dengan keluarga dan ikut serta menyaksikan jalannya upacara. Tanda-tanda orang yang sedang mengalami sakaratul maut oleh masyarakat Kaili biasa disebut dengan nantapasaka.
Di saat-saat sekarat seperti itu, anggota keluarga atau orang yang berilmu akan memberikan tuntunan dengan cara membisikkan pengajaran ke telinga orang sekarat tersebut secara bergantian. Prosesi ini disebut dengan mopotuntuka ritalinga.
Pada zaman dahulu, tuntunan sakaratul maut ini biasa dilakukan oleh seorang sando (dukun) dengan membaca mogane (mantra) sembari meremas bagian kepala dengan air yang sebelumnya telah dibacakan mantra-mantra tertentu. Sementara keluarga dan kerabat akan menyaksikannya dengan tenang.
Dewasa ini, upacara tersebut telah diwarnai dengan peranan agama. Ketika seseorang mengalami rilara nuadanga, maka pihak keluarga akan mengadakan pengajian Alquran dari salah seorang yang diakui memiliki suara yang fasih dan langgam yang baik.
Sementara yang bertugas membisikkan pengajaran atau tuntunan kepada orang yang sekarat tersebut adalah anggota keluarga terdekat atau seorang guru yang dianggap memiliki ilmu agama yang baik.
Kalimat yang dibisikkan ke telinga orang tersebut pada saat nipotuntuka ritalinga adalah kalimat tauhid “La ilaha illallah”. Sesuai dengan ajaran Islam bahwa siapa yang mampu mengucapkan kalimat tauhid di saat-saat terakhirnya, maka orang tersebut berhak masuk surga.
Inti dari upacara Nopamada ini adalah mengajarkan atau menuntun orang yang mengalami sakaratul maut dengan suatu petunjuk yang diyakini dapat membuka jalan yang lurus, agar roh dapat keluar dengan tenang pada saat menghembuskan nafas terakhir.
Ajaran tersebut oleh masyarakat Kaili biasa disebut dengan “jalan ngamatea” atau jalan menuju kematian. Isinya mempelajari tanda-tanda akan datangnya ajal dan jalan yang akan ditempuh oleh roh seseorang menuju alam baka.
Ajaran seperti itu diperoleh melalui jalan tarikat dari guru-guru agama, yang biasanya diajarkan kepada seseorang dalam kelambu atau bersifat sangat rahasia. Ilmu tersebut tidak diajarkan kepada sembarang orang, melainkan hanya kepada orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya untuk mengajar orang-orang yang sedang dalam keadaan sakaratul maut.
6. Nompudu Valaa Mpuse

Nompudu Valaa Mpuse adalah upacara pemotongan tali pusar dari tavuni (tembuni) pada seorang bayi yang baru lahir. Upacara ini biasa dilakukan oleh masyarakat Palu yang dibantu oleh seorang sando mpoana (dukun beranak).
Tali pusar dan tembuni oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai dua makhluk yang harus dipisahkan. Oleh karena itulah, upacara ini dilakukan dengan khidmat oleh seorang dukun bersalin agar roh tembuni tidak mengganggu bayi setelah keduanya dipisahkan.
Setelah bayi lahir, dukun tersebut akan menutup kedua telinganya dengan kepingan uang logam dan memotong tali pusar di atas uang logam 100 perak meggunakan benji (sembilu dari bambu).
Selesai pemotongan, ujung tali pusar yang tadinya berhubungan dengan si bayi tersebut lalu diikat menggunakan bana (benang) atau titinggi nggaluku (serat sabut kelapa merah yang masih muda), atau sering juga menggunakan lui kuli nusuka (serat kulit kayu balinjau).
Sementara itu, si bayi dimandikan menggunakan air hangat kuku yang biasa disebut dengan uwe longo. Sedangkan sang ibu dari bayi tersebut dibersihkan dan diberi obat-obatan tradisional agar kekuatannya pulih kembali.
Tembuni yang merupakan bagian dari bayi tersebut oleh masyarakat setempat dianggap sebagai saudara dari sang bayi. Tembuni tersebut akan disimpan selama seminggu dengan dibungkus menggunakan kain kuning dalam sebuah belanga tanah yang telah diberi garam dan asam.
Di atas belanga tersebut dihias dengan empat tusuk bawang dan kunyit sebagai hiasan agar tembuni merasa mendapat pelayanan dan hiburan sehingga tidak lagi mengganggu saudaranya. Dengan begitu, sang bayi tidak selalu menangis atau tersenyum saat tidur karena diganggun oleh saudaranya (tembuni).
Dalam upacara penanaman tembuni tersebut, dipilih dua anak perempuan yang masih hidup kedua orang tuanya untuk bertugas membawa tembuni dari rumah menuju tempat penanaman, sementara satu anak lagi membawa makanan untuk tembuni tersebut.
Sepanjang jalan, kedua anak perempuan itu tidak diperbolehkan berbicara ataupun ditanyai sesuatu sampai tembuni tersebut selesai ditanam. Dari setelah prosesi kelahiran sampai selesai upacara penanaman tembuni, si bayi juga dilarang dibawa keluar dari kamar, apalagi sampai keluar rumah dan turun tanah.
Dalam upacara tersebut, disediakan dua buah lubang yang selain untuk menanam tembuni, juga untuk menanam bibit kelapa. Pohon kelapa yang ditanam tersebut adalah penanda usia sang anak, sekaligus sebagai penghibur bagi tembuni dan menggembirakan sang anak ketika telah tumbuh besar.
Baca juga: Menelusuri 7 Tradisi Adat Toraja yang Unik dan Horror
7. Malabot Tumpe

Malabot Tumpe adalah upacara syukuran atas panen telur burung maleo oleh masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah. Tradisi ini sudah dilakukan oleh masyarakat Banggai sejak zaman Kerajaan Banggai pimpinan Raja Mandapar.
Maleo sendiri adalah seekor burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di kawasan pantai. Populasinya banyak ditemukan di daerah Bangkiang, Kecamatan Batui.
Prosesi upacara Malabot Tumpe ini diawali dengan mengumpulkan telur burung maleo oleh perangkat adat. Setelah telur terkumpul, para perangkat adat tersebut akan membawanya ke rumah ketua adat dan melakukan rangkaian prosesi dengan doa dan dzikir kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Biasanya, untuk mengantarkan telur burung tersebut menggunakan perahu melalui sungai Batui dan disertai dengan tujuh orang pengantar telur. Tujuh orang tersebut terdiri dari: 3 orang pemangku adat yang biasa disebut dengan ombuwa telur (pembawa telur) dan 4 orang pendayung.
Sebelum diberangkatkan menuju Banggai, telur-telur maleo tersebut dibungkus menggunakan daun pohon palem yang biasa disebut daun komunong. Para pembawa telur akan berjalan dan diarak menuju sungai Batui dengan iringan genderang dan dikawal oleh pasukan adat.
Telur-telur maleo biasanya dikumpulkan dari lima desa, yaitu Dakanyo Ende, Binsilok Balatang, Tolando, Binsilok Katundunan, dan Topundat. Masing-masing desa tersebut biasanya dapat mengantarkan 20 hingga 25 butir telur. Sehingga setiap tahun dapat terkumpul kurang lebih sampai 100 butir telur untuk upacara Malabot Tumpe.
Namun kini dikabarkan bahwa keberadaan telur burung maleo semakin berkurang, sehingga jumlah telur yang diupacarakan semakin sedikit. Upacara Malabot Tumpe seperti ini biasa diadakan rutin setiap tahun, pada musim pertama bertelurnya burung maleo yang biasanya terjadi pada bulan September.
***
Demikianlah satu ulasan rinci mengenai 7 upacara adat Sulawesi Tengah yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Tentu, masih ada banyak bentuk ritual, tradisi, maupun upacara adat Sulawesi Tengah yang khas dan menarik, namun tentu juga tidak akan mampu ditampung dalam ruangan sempit di sini.
Semoga bermanfaat!
Baca juga: Mengenal Upacara Adat Sulawesi Barat yang Jarang Diketahui
Referensi:
- budaya-indonesia.org
- wikipedia.com