Menelusuri keunikan upacara adat Sumatera Utara, dari masyarakat Batak Toba hingga Suku Nias.
Soal budaya, wilayah Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku yang masih memegang erat budaya warisan leluhur. Upacara adat yang dihasilkan dari kepercayaan lokal kini dapat dilestarikan, meskipun beberapa telah terpengaruh oleh budaya modern dan nuansa agama.
Upacara adat Sumatera Utara memiliki ragam yang begitu banyak dan merupakan warisan budaya yang memiliki nilai yang tinggi. Keunikan dan ciri khas-nya membuat banyak orang penasaran sampai menghadiri prosesinya hanya untuk melihat dan merasakannya sendiri.
Dari masyarakat Batak Toba, umat Parmalim, hingga Suku Nias, akan coba kita telusuri berbagai tradisi budaya, ritual, dan upacara adat Sumatera Utara yang beragam. Tentu, masing-masing memiliki cerita sejarah tersendiri yang menarik untuk didengarkan.
Daftar Isi
1. Tradisi Mangulosi

Dari namanya, Mangulosi berasal dari kata ulos yang merupakan sebuah kain tenun khas Suku Batak yang telah ada sejak zaman dahulu. Berbeda dengan kain tenun pada umumnya, selain memiliki fungsi pakaian dan estetika, kain ulos memiliki arti dan makna tersendiri dalam upacara adat masyarakat Batak.
Masyarakat Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia dalam melaksanakan upacara adat atau tradisi-tradisi warisan leluhur. Bagi masyarakat Batak Toba, adat merupakan bagian dari kebudayaan untuk mempertinggi kualitas hidup mereka dan sebagai identitas kebudayaannya. Salah satunya Mangulosi.
Mangulosi adalah prosesi adat mengalungkan kain ulos kepada pihak yang mengadakan pesta suka cita ataupun acara duka. Dalam acara pernikahan, kain ulos ini akan diselendangkan di pundak kedua mempelai. Sedangkan pada acara kematian, maka ulos akan diletakkan di tubuh jenazah.
Tradisi Mangulosi ini bagi masyarakat Batak diartikan sebagai pemberian kasih sayang, doa, kehangatan, dan restu. Menurut sejarahnya, ulos dianggap sebagai sebuah tanda yang dapat mengayomi dan memberikan kehangatan bagi pemakainya.
Tradisi Mangulosi biasa dilakukan oleh orang yang dituakan kepada kerabat yang memiliki partuturan atau kedudukan yang lebih rendah, seperti orang tua kepada anaknya. Dalam budaya pernikahan Batak, terdapat tradisi Mangulosi dari tulang (paman) kepada kedua mempelai, hal yang menunjukkan ciri khas relasi dalam keluarga Batak.
Baca juga: Mengulas 10 Upacara Adat Jawa Timur yang Terkenal
2. Mangongkal Holi

Mangongkal Holi adalah sebuah tradisi masyarakat Batak membongkar kembali tulang-belulang leluhur yang berada di tanah perantauan dan memindahkannya ke tanah kelahiran. Biasanya, di tanah kelahirannya sudah disiapkan sebuah tugu yang khusus untuk menaruh tulang-belulang tersebut.
Bagi masyarakat Batak, upacara Mangongkal Holi merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal. Upacara ini juga bertujuan untuk mempersatukan keturunan leluhur agar dapat diketahui siapa saja yang merupakan keturunan leluhur tersebut.
Tidak diketahui secara pasti soal asal usul dan sejak kapan upacara ini diadakan. Masyarakat percaya, tradisi ini sudah ada sejak lama, bahkan sebelum ajaran agama masuk ke tanah Batak.
Upacara ini lahir karena kepercayaan nenek moyang bahwa orang yang meninggal akan memiliki sahala atau kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarganya. Maka dari itu, dilaksanakanlah upacara Mangongkal Holi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Namun, sejak masuknya agama ke tanah Batak, khususnya agama Kristen, niat melaksanakan ritual ini bukan lagi atas kepercayaan kepada roh leluhur, melainkan atas dasar penghormatan orang tua sebagaimana yang tertuang pada hukum Taurat.
Pelaksanaannya pun juga telah banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kristiani. Segala bentuk ritual yang berkaitan dengan animisme pun ditiadakan, yang sebelumnya melibatkan dukun, kini berganti melibatkan pihak gereja untuk memimpin doa.
Secara umum, pelaksanaan upacara Mangongkal Holi ini akan memakan waktu selama tiga hari. Keluarga juga harus menyiapkan makanan dan menyembelih babi dan kerbau.
Mangongkal Holi bisa dikatakan merupakan salah satu upacara adat terbesar dalam kebudayaan Batak. Prosesi pengangkatan tulang belulang leluhur harus melibatkan seluruh anggota keluarga. Keluarga yang terpisah dan tersebar di perantauan akan berkumpul kembali untuk menghadiri acara ini.
Meskipun tidak ada kewajiban untuk melaksanakan upacara ini, keluarga yang melaksanakannya akan mendapat keistimewaan tersendiri di tengah masyarakat. Karena memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakan upacara ini, maka biasanya yang mampu melaksanakannya adalah kalangan keluarga kaya.
3. Tarian Gundala-Gundala

Gundala-Gundala merupakan sebuah tarian yang berasal dari masyarakat Suku Karo, Sumatera Utara. Di samping sebagai seni pertunjukan, tarian ini sebenarnya digunakan sebagai ritual pemanggil hujan dalam upacara Ndilo Wari Udan ketika terjadi kemarau panjang.
Menurut kepercayaan, tarian ritual Gundala-Gundala ini lahir dari sebuah legenda yang ada di Kabupaten Karo. Diceritakan, dahulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Sibayak.
Suatu ketika, Raja Sibayak bertemu dengan seekor burung raksasa jelmaan seorang pertapa sakti bernama Gurda Gurdi. Sang raja pun membawa pulang Gurda Gurdi dan dijadikan sebagai penjaga putrinya.
Burung Gurda Gurdi ini ternyata memiliki kekuatan yang bersumber pada paruhnya, sehingga terdapat pantangan bahwa paruhnya tersebut tidak boleh disentuh oleh siapapun.
Suatu ketika, paruh tersebut tanpa sengaja tersentuh oleh sang putri dan secara spontan Gurda Gurdi menjadi marah besar dan memberontak. Akhirnya, Raja Sibayak mengutus pasukannya untuk menyerang Gurda Gurdi hingga mati.
Kematian Gurda Gurdi rupanya menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat Karo. Di tengah kesedihan tersebut, langit menurunkan hujan yang sangat lebat seolah-olah ikut menangisi kepergian Gurda Gurdi.
Dari cerita tersebut, lahirlah sebuah ritual Gundala-Gundala berupa tarian yang menceritakan kisah Gurda Gurdi untuk memanggil hujan.
Tarian Gundala-Gundala biasanya dimainkan oleh beberapa orang dengan mengenakan aksesoris berupa topeng dan pakaian khusus yang unik.
4. Marari Sabtu

Marari Sabtu merupakan sebuah ritual ibadah bagi umat Parmalim, sebuah sebutan bagi para penganut Ugamo Malim, agama leluhur Suku Batak. Sebutan Parmalim ditabalkan setelah Raja Sisingamangara XII mangkat. Sebelum pergi, ia menitahkan agar ajaran ini diteruskan kepada Raja Mulia, Ihutan Ugamo Malim.
Hingga hari ini, sudah ada dua generasi Naipospos (salah satu marga Suku Batak) yang menggantikannya. Kepercayaan ini berpusat di Huta Tinggi, tepatnya di Desa Pardouman Nauli, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bale Pasogit yang hanya ada di daerah tersebut.
Ibadah Marari Sabtu dilakukan pada hari Sabtu atau Samisara. Seluruh umat Parmalim akan berkumpul di tempat ibadah, baik di Bale Partonggoan, Bale Pasogit, maupun di Rumah Parsantian. Mereka akan melakukan sembah dan puji kepada Mulajadi Nabolon.
Ritual ini dilakukan bertujuan untuk mensucikan diri dari dosa-dosa, khususnya dosa yang telah dilakukan selama seminggu terakhir, dan membersihkan diri dari segala penyakit. Pada kesempatan tersebut, mereka juga akan diberi poda atau bimbingan agar lebih tekun dalam menjalankan nilai-nilai Ugamo Malim.
5. Fahombo

Fahombo atau Hombo Batu adalah sebuah tradisi lompat batu masyarakat Nias yang masih lestari sejak berabad-abad lamanya. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun di setiap keluarga dari ayah ke anak laki-lakinya. Namun, tidak semua pemuda Nias mampu melakukannya meskipun sudah berlatih sejak kecil.
Fahombo dulunya merupakan ritual pendewasaan bagi kaum laki-laki Suku Nias yang diyakini mengandung unsur magis dari roh leluhur. Namun kini, ritual ini telah menjadi sebuah pertunjukan olahraga yang ramai diminati banyak orang, sampai-sampai menjadi objek wisata tradisional yang unik dalam skala dunia.
Pada zaman dulu, Fahombo merupakan ritual pendewasaan bagi kaum laki-laki yang telah beranjak dewasa. Mereka akan mencoba melompati batu setinggi lebih dari dua meter. Jika berhasil, mereka akan diakui sebagai lelaki dewasa yang pantas bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah.
Dalam sejarahnya, tradisi lompat batu ini lahir dari kebiasaan berperang antar desa suku-suku di Pulau Nias. Dahulu, suku-suku di pulau ini sering terjadi peperangan karena terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah, atau masalah perbudakan.
Masing-masing desa lalu membentengi wilayahnya dengan tumpukan batu atau bambu setinggi 2 meter. Bermula dari situlah, tradisi lompat batu lahir dan dijadikan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang.
Saat itu, para pimpinan desa akan menentukan pantas atau tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit perang. Selain memiliki fisik yang kuat dan menguasai ilmu hitam, mereka juga harus mampu melompati susunan batu setinggi kurang lebih dua meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.
Secara taktis dalam peperangan, ritual Fahombo juga bertujuan untuk melatih para prajurit muda untuk tangkas dan gesit dalam melompati dinding pertahanan musuh, dengan menggenggam obor dan pedang di malam hari.
Sebagai ritual, Fahombo sangat disakralkan dalam adat Nias. Sejak usia 10 tahun, anak-anak lelaki sudah mulai mencoba melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka. Dengan mengenakan busana pejuang khas Nias, hal itu sebagai simbol bahwa mereka telah siap bertempur dan memikul tanggung jawab sebagai laki-laki dewasa.
Kini, tradisi Fahombo telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Fahombo telah menjadi simbol kebudayaan masyarakat Nias. Bahkan, tradisi ini telah menjadi bagian dari atraksi budaya yang biasanya disuguhkan bersamaan dengan atraksi tari perang.
6. Gondang Naposo

Gondang Naposo adalah tradisi masyarakat Suku Batak yang bertujuan sebagai media perkenalan dan tegur sapa bagi pemuda dan pemudi, berbalas pantun, sampai melangkah ke jenjang perkawinan.
Pada dasarnya, pagelaran Gondang Naposo ini tidak hanya berkaitan dengan kaum naposo (muda-mudi) saja. Berawal dari tradisi lama, acara ini justru diprakarsai oleh orang tua yang pendanaannya digalang dari penduduk setempat.
Festival Gondang Naposo biasanya digelar saat bulan purnama setelah upacara Mangsae Taon yang biasanya dilaksanakan setelah panen raya. Mangsae Taon merupakan sebuah hari raya bagi masyarakat Batak tempo dulu. Di beberapa daerah, ada yang menyebutnya Pesta Bius, Pasahat Horbo Bius, Patasumangot, atau yang lainnya.
Pagelaran Gondang Naposo umumnya berlangsung selama dua hari. Hari pertama adalah acara maminta tua ni gondang sebagai tradisi pembuka acara gondang pada budaya Batak yang dimulai pada sore hari. Di acara itu, para orang tua memberikan berkat kepada anak-anak mereka, lalu bergembira menari dengan tata kesopanan yang berlaku.
Pada hari selanjutnya, sejak pagi hari para naposo telah diberi izin untuk memulai acara tortor (tarian khas Batak) sebagai pertunjukan kepada para tamu undangan. Setiap rombongan tamu undangan biasanya akan membawa persembahan untuk naposo yang disebut santisanti berupa uang yang dimasukkan ke dalam tandok kecil atau diletakkan di atas pinggan berisi beras.
Ketika naposo dari pihak tulang (paman) telah mempersilahkan para iboto (kemenakan perempuan) mereka menari, itu pertanda bahwa naposo baoa (laki-laki) untuk melirik dan mengajak menari.
Ketika gaya menari ada yang kecantol dan mendapat sambutan, biasanya akan dilanjutkan dengan tarian kedua. Di sinilah tahap pematangan apakah saling menyukai atau tidak, dari tarian tersebut dapat terlihat yang menerima dan yang menolak.
Apabila diterima, maka si laki-laki menyematkan daun beringin di kepala pujaannya itu, begitu pula sebaliknya. Ketika kasih terjalin, maka pihak orang tua yang terus mengawasi mereka akan mencatatkan dalam agenda mereka dan melakukan penelusuran lanjutan ke jenjang yang lebih serius.
Pertunjukan ini biasanya akan selesai sampai sore hari dengan dikembalikan kepada orang tua untuk menutup acara.
Baca juga: Eksotisme 7 Upacara Adat Papua, Budaya Tanah Mutiara Hitam
7. Tarian Sigale-Gale

Pada masa silam, ada kepercayaan bagi masyarakat Batak, apabila ada seseorang yang terkemuka meninggal dunia sebelum memiliki anak sebagai penyambung keturunan, maka dianggap sebagai sebuah kesialan.
Dalam rangka mencegah agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali, maka diadakanlah sebuah ritual tarian duka menggunakan boneka kayu yang dikenal dengan Sigale Gale.
Boneka Sigale Gale dibuat menyerupai manusia, dengan kepala dilumuri kuning telur, gigi dicat hitam menggunakan jelaga baja, dan lekuk matanya dilekatkan buah berwarna merah. Boneka lalu diberi pakaian ulos khas Batak dan di atas kepalanya dilekatkan rambut kuda atau ijuk sebagai ikat kepala.
Dengan begitu, boneka lalu diletakkan di atas sebuah papan beroda dan diarak berkeliling kampung. Boneka tersebut dianggap sebagai simbol perpisahan dari orang yang baru meninggal. Kerabat yang ditinggalkan akan berduka cita dengan memeluk boneka tersebut dan menangis tersedu-sedu.
Apabila boneka Sigale Gale diarak bertepatan dengan bulan purnama, maka dapat membawa sebuah perasaan pilu dan mengharukan. Di malam terakhir upacara tarian duka tersebut, boneka akan dibawa keluar kampung dan dicampakkan ke Danau Toba. Hal itu dimaksudkan agar masa yang akan datang, tidak terulang lagi nasib seperti keluarga yang malang itu.
Sejak tahun 1980-an, tarian Sigale Gale ini dimainkan dengan diiringi gondang hasapi yang dianggap lebih syahdu dan lembut, bukan lagi menggunakan gondang bolon yang dipercaya mengandung unsur mistis.
Pertunjukan tarian boneka pun sudah dilengkapi dengan tali dan dikendalikan oleh seorang dalang, tidak seperti sebelumnya yang menari sendiri karena dirasuki oleh roh orang yang meninggal.
Seiring dengan perkembangan zaman, pertunjukan kebudayaan tradisional ini sudah semakin jarang diminati di masa sekarang ini. Di samping masyarakat yang menyaksikan pertujukan ini semakin berkurang, dalang yang bisa memainkan Sigale Gale juga semakin sedikit.
Baca juga: Mengulik 10 Upacara Adat Sumatera Barat yang Khas
***
Demikian 7 upacara adat Sumatera Utara yang khas dan menarik untuk ditelusuri. Terdapat juga tradisi dan prosesi ritual yang menjadikannya semakin mengandung nilai budaya yang kental.
Menceritakan latar sejarah di baliknya, mengulas tata prosesinya, sampai membahas nilai-nilai budaya yang terkandung di dala upacara adat Sumatera Utara yang menarik. Semoga bermanfaat!
Referensi
- budaya-indonesia.org
- wikipedia.org
- indonesia.go.id